Peningkatan Pola Manajemen Adaptif Dalam Upaya Menghadapi Kondisi Perubahan Iklim

Katakepri.com, Tanjungpinang – Seperti diketahui isu perubahan iklim (climate change) saat ini yang dirasakan oleh masyarakat dunia menjadi sebuah ancaman bersama. meski ini isu global, akan tetapi dampaknya berbeda-beda untuk setiap negara bahkan daerah-daerahnya. Hal ini tergantung pada tipologi lahan pada umumnya dan etika masyarakat suatu daerah terhadap lingkungan biotik – abiotik dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.

Karakteristik yang berbeda tersebut misalnya daerah pesisir pulau-pulau kecil dan daerah relatif sungai, dimana kerentanan paling krusial pada daerah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah perubahan iklim yang berdampak pada mata pencaharian nelayan yakni pada hasil tangkapan ikan seperti gelombang estrim, banjir rob yang disebabkan oleh naiknya permukaan air laut.

Kerentanan paling krusial selanjutnya adalah daerah bentaran sungai dimana jika terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi akan menambah debit air larian, yang mana sungai tidak dapat menampung beban dan menyebabkan banjir.

Kita contohkan kesiapan suatu kota terhadap curah hujan yang yang tinggi, untuk saat ini banyak perkotaan yang menerima dampak perubahan iklim dengan datangnya curah hujang yang tinggi, namun kota tersebut baik-baik saja, ini tentu karna banyak faktor kota tersebut menjadi bertahan dari gempuran curah hujan, salah satu faktor adalah etika lingkungan masyarakat terhadap upaya konservasi terhadap lingkungan yang menjadikan kota tersebut baik langsung ataupun tidak langsung memiliki pola adaptif dalam menghadapi perubahan iklim.

Sebaliknya banyak kota yang digempur dengan curah hujan yang tinggi menghadapi resiko banjir hingga longsor sebab berbagai faktor, dan faktor paling umum terjadi di Indonesia sendiri adalah selain faktor alam adalah lahan yang terdegradasi, sebab moral oknum-oknum masyarakat para pelaku usaha yang kurang beretika pada lingkungannya.

Oknum-oknum masyarakat dan para pelaku usaha yang kurang beretika pada lingkungannya seperti penggunaan kendaaran yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan moda transportasi yang tidak ramah lingkungan ini dapat dilakukan oleh kegiatan perorangan dan umumnya perusahaan yang tidak melakukan perawatan berkala terhadap kendaraannya atau melakukan uji KIR, hal ini akan berdampak pada peningkatan beban emisi gas rumah kaca (CO2, CH4,dan N2O).

Efek dari rumah kaca ini akan menimbulkan perubahan iklim yang mana akan juga terjadi ketidak seimbangan iklim maupun berubahnya iklim yang semula berjalan dalam siklus yang awalnya normal menjadi sedikit tidak normal sampai akibat dari efek rumah kaca ini adalah global warming.

Meningkatnya efek rumah kaca memang bukan satu satunya akibat dari global warming namun efek rumah kaca juga berkontribusi besar terhadap global warming yang mana kutub es mencair dengan seiringnya perkembangan waktu dan air laut diberbagai negara akan mengalami pasang setiap tahunya dan daratan perlahan akan tenggelam dan juga beberapa perubahan iklim di berbagai belahan bumi.

Pada kondisi wilayah yang berbeda-beda dalam menerima perubahan iklim tersebut, maka bencana hidrometerologi dalam siklus hidrometerologi akan meningkatkan kerentanan (vulnerability) masyarakat, maka mekanisme adaptasi adalah sebuah keharusan yang harus diterapkan pada sebuah daerah yang rentan tersebut.

Namun sayang … masih banyak masyarakat dearah bahkan Pemerintah daerahnya sendiri cendrung pasif menghadapi kondisi tersebut, dimana jika ini tidak segera dilakukan sebuah mekanisme manajemen adaktif tentunya akan menghambat daripada tujuan penghidupan berkelanjutan yang lebih baik.

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang telah di tetapkan oleh Pemerintah pusat pada pasal 1 ayat 5 yang mengamanatkan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang kemudian di selenggarakan acuan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Perumusan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang telah di tetapkan oleh Pemerintah pusat tersebut diatas dalam pengimplementasiaannya adalah Pemerintah Daerah sebagai Leading sektor bagi masyarakatnya. Pemerintah Daerah dan Masyarakat perlu bersatu padu dalam menanggapi isu perubahan iklim tersebut utamanya dalam pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Yang tidak diharapkan adalah Pemerintah Daerah dan masyarakat bersikap tidak peduli, sebab jika telah terjadi bencana tentunya akan menghitung berapa banyak kerugian yang ditimbulkan dari segi korban jiwa dan perekonomian.

Setiap bencana akan menimbulkan dampak kerugian, namun tentu akan menjadi berbeda dampak kerugian yang ditimbulkan dengan suatu daerah yang telah memiliki pola manajemen adaptif. Kelompok masyarakat, komunitas, kelembagaan yang didukung Pemerintah setempat menjadi ujung tombak untuk menciptakan masyarakat siap, tanggap dan tangguh dalam pencegahan bencana hingga rehabilitasinya. Dengan demikian diharapkan pola manajemen adaptif dapat mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat terhadap sumber daya.

Malone et al (2009:46) mengidentifikasi delapan faktor penentu kapasitas adaptif sebagai berikut :
Pilihan teknologi yang tersedia untuk melakukan adaptasi Ketersediaan sarana prasarana dan distribusinya pada seluruh lapisan masyarakat
Keberadaan lembaga yang memiliki otoritas pengambilan keputusan, dan adanya kriteria tentang pilihan keputusan yang akan digunakan
Kemampuan pengambil keputusan untuk mengelola informasi, termasuk proses pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang kredibel, serta kredibilitas dari pengambil keputusan itu sendiri
Kepercayaan publik terhadap kemampuan lembaga yang memiliki otoritas pengambilan keputusan
Kualitas sumber daya manusia
Keberadaan modal sosial, termasuk mekanisme pelibatannya dalam sebuah lembaga
Akses sistem untuk menjalankan proses penyebaran pengetahuan tentang risiko dengan membangun kolaborasi Terbentuknya Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang dibentuk oleh Pemerintah pusat sejak tahun 2014 lalu, 15 daerah telah menjadi daerah percontohan salah satunya seperti Bandar Lampung, Semarang, NTB dan lain-lain.

Diharapkan dengan adanya program tersebut dapat dilaksanakan oleh Daerah lainnya dengan tetap mekanisme pelaksanaan kebijakan pola adaptasi di laksanakan menyesuaikan apa yang diperlukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakatnya. Karena adaptasi itu lebih kepada kebutuhan lokal, dimana yang terdapak langsung adalah masyarakat lokal.

Rumusan dan perangkat RAN-API saja tentunya tidak cukup saja oleh Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah tentu harus berkordinasi secara efektif yang kemudian juga harus di dukung masyarakat daerah sebagai ujung tombaknya. Mengapa masyarakat justru dikatakan ujung tombaknya, sebab yang akan melaksanakan program tersebut adalah masyarakat terdampak yang harus belajar pola adatif terhadap perubahan iklim.

RAN API merupakan sebuah inisiatif yang ditegaskan oleh pemerintah Indonesia untuk membangun kesadaran bersama masyarakat melalui pemerintah pusat dan daerah dalam solidaritas kapasitas adaptasi serta peran, pencegahan dan upaya terhadap dampak/ resiko bencana.

Setidaknya dari penelitian dan rumusan yang dihasilkan dari pola adaptasi tersebut terhadap perubahan iklim yang terjadi, masyarakat memiliki kecermatan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Adaptasi terjadi secara fisik, sistem ekologi dan manusia. Ini melibatkan perubahan dalam proses sosial dan lingkungan, persepsi risiko iklim, praktek dan fungsi untuk mengurangi kerusakan potensial atau untuk mewujudkan peluang baru.

OLEH : ANDI ABDUL GATPUR
MAHASISWA PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI – KOTA TANJUNGPINANG