Hukum Pernikahan Beda Agama 

Katakepri.com, Jakarta – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya Sabtu (24/6/2023) baru saja mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Calon mempelai laki-laki, JEA adalah seorang umat kristiani sedangkan calon mempelai wanita adalah seorang Muslimah.

Mantan Menteri Agama RI Quraish Shihab, mengatakan dalam akun Youtube Najwa Shihab yang diunggah pada September 2018, bahwa Islam hanya membolehkan pernikahan muslim dan non-muslim dengan syarat pengantin laki-laki adalah muslim dan wanitanya seorang ahli kitab. Sedangkan apabila pengantin wanita seorang Muslim dan pengantin laki-laki non-Muslim, maka ini dilarang.

“Alquran membolehkan, laki-laki muslim menikah dengan ahli kitab (yahudi atau kristen) tetapi tidak sebaliknya. Karena dikhawatirkan laki-laki non-muslim ini yang menikah dengan muslimah bisa jadi dia (istri) dipaksa (pindah agama),” kata ujar Quraish Shihab. 

Tetapi ulama-ulama sekarang termasuk Buya Hamka, ujar cendekiawan Muslim ini, menyarankan untuk melarang sepenuhnya  pernikahan beda agama antara Muslim dengan non-muslim. “Biarlah muslim kawin dengan muslimah, supaya dekat budaya dan nilai-nilainya, jangan sampai muslim menikah dengan wanita non muslim, lalu dia terpengaruh (oleh) wanitanya,” ujar Quraish.

Melalui kanal Youtubenya, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, Buya Yahya juga menuturkan kesepakatan ulama adalah melarang wanita muslim (muslimah) menikah dengan laki-laki non-muslim. “Pernikahan silang beda agama, jika wanitanya Islam maka mutlak kesepakatan ulama (ijma’) tidak sah. Pernikahannya dianggap tidak sah dalam syariat, biarpun dicatatan sipilnya ada,” kata Buya Yahya.

Dalam syariat, terangnya, pernikahan yang tidak sah maka hukumnya apabila berhubungan suami-istri maka dianggap sebagai zina. “Jika seorang wanita muslimah dan lakinya non-muslim. Ini harga yang sudah tidak boleh ditawar,” tegasnya.

Lain halnya ketika laki-laki muslim menikah dengan non-muslim dari nasrani maupun yahudi, dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut Mazhab Syafi’i, wanita non-muslim ini harus memiliki asal usul agama yang jelas. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, asalkan wanita non muslim itu menisbatkan dirinya pada agama Nasrani atau Yahudi maka pernikahan sah. (Red)

Sumber : republika.co.id