Katakepri.com, Tokyo – Ada pemandangan tak biasa malam itu di jantung kota Tokyo. Teriakan “Free-free Palestine!” mengalihkan ratusan pandangan mata di pusat keramaian Shibuya Crossing, destinasi yang tak pernah sepi dipadati turis hanya untuk merasakan sensasi berbeda dalam menyeberang jalan.
Kemarahan, kekecewaan serta harapanlah yang menggerakkan peserta aksi untuk mendukung Palestina meskipun nun jauh dari Negeri Sakura. Dengan suara yang bergetar, Ayah, yang merupakan warga asli Palestina meluapkan kegeramannya di hadapan ratusan peserta aksi.
“Masa-masa untuk mengedukasi orang tentang apa yang terjadi di Gaza sudah lewat. Waktu untuk menunjukkan kemarahan adalah sekarang, waktu untuk berdiri adalah sekarang, waktu untuk berteriak adalah sekarang, waktu untuk membayar semua itu adalah sekarang, waktu untuk balas dendam adalah sekarang, waktu untuk intifada adalah sekarang,” ujarnya.
Berbagai latar belakang, warga negara, agama, ras, bersatu dalam barisan dengan tujuan yang sama, yakni Palestina merdeka. Ellie warga Jepang dan Rachel warga Amerika Serikat di antaranya.
“Tak seharusnya orang itu berpendapat masalah ini rumit, genosida itu tidak sepatutnya terjadi, bahkan sebelum 7 Oktober. Saya berharap orang-orang mempelajari sejarah mengapa ini terjadi. Ini harus dihentikan dan harus gencatan senjata,” kata Ellie.
“Buat saya (genosida) ini gila dan masih terjadi sampai sekarang. Ini tentu memberikan pencerahan kepada saya sebagai warga Amerika yang tidak tahu banyak tentang konflik ini dan sungguh memalukan sejak 7 Oktober tidak banyak pengetahuan tentang itu untuk untuk mengedukasi warga,” timpal Rachel.
Tidak sedikit dari mereka yang menonton ikut bergabung dan ikut berteriak lantang “Birruh, biddam, nafdika ya Palestine!” yang bermakna “Dengan jiwa kami, dengan darah kami, kami akan menebusmu, Palestina!”.
Aksi yang dinamai Intifada March itu adalah satu di antara sekian aksi di Jepang untuk mengecam genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina.
Kesadaran itu tumbuh di tengah kencangnya arus informasi yang tidak jarang justru condong pelaku kejahatan kemanusiaan. Bahkan, salah satu warga Jepang, Furusawa Yusuke, masih tegar berdiri membela Palestina seorang diri, setiap hari hingga detik ini.
Dengan selembar papan bertuliskan “Stop Genocide. Humanitarian Aid to Gaza”, ia tak gentar bersuara walaupun tak jarang mendapatkan konfrontasi dari oknum bahkan turis di sejumlah titik keramaian di Tokyo.
Tidak jarang, Furusawa melakukan aksinya di depan gerai-gerai yang terbilang mendukung aksi keji pembersihan etnis di tanah yang disucikan umat Islam, Kristen dan Yahudi itu. Dalam akun Instagram, pria yang biasanya beraksi mengenakan topi dan kafiyeh itu menuliskan “Saya berdiri bersama Palestina setiap hari”.
Merambah ke Forum Kampus
Kesadaran akan isu kemanusiaan di Palestina bukan hanya tercermin di jalan-jalan pada aksi demonstrasi, tetapi juga sudah mulai masuk ke forum-forum diskusi akademik di sejumlah lembaga pendidikan di Jepang. Salah satunya, di Universitas Ehime, Prefektur Ehime yang berjarak 852 kilometer dari Tokyo.
Diskusi publik itu terlaksana atas inisiasi diaspora Indonesia, Mursyida Nurfadhilla, yang intens menyuarakan tentang Palestina. Dia mencoba meyakinkan seorang profesor yang meneliti isu-isu Timur-Tengah untuk membantu menyampaikan ke pihak kampus agar forum bisa dilaksanakan dan membuka pandangan warga Jepang tentang apa yang terjadi di Gaza.
“Awalnya cukup sulit untuk bisa mengadakan seminar ini karena topik yang dibahas tidak mudah diterima oleh orang Jepang. Namun, kami terus memberikan latar belakang dan tujuan yang edukatif yang sesuai dengan visi misi kampus,” katanya.
Forum itu merupakan yang ketiga kalinya yang diinisiasi oleh Mursyida setelah sebelumnya menggelar konferensi pers dengan sejumlah media massa di Jepang.
Dia mengaku bersyukur karena terjadi peningkatan jumlah peserta warga Jepang dari berbagai kalangan dan profesi yang antusias melontarkan pertanyaan. Tidak jarang, lanjut dia, beberapa peserta terutama anak muda yang baru mengetahui secara detil dan faktual apa yang terjadi di Gaza.
Ibu empat anak itu berharap semakin banyak warga Jepang yang tercerahkan dan teredukasi dengan isu-isu Palestina hingga detik ini.
“Jika pemimpin internasional tidak bisa menghentikan kejahatan ini, maka saatnya mempersatukan kekuatan semua masyarakat dunia. Saya yakin, masyarakat dunia, khususnya di Jepang adalah masyarakat yang mencintai kedamaian,” ujarnya.
Salah satu universitas swasta terkemuka di Jepang, Universitas Waseda, juga mengadakan diskusi serupa serta pemutaran film “Gaza: Real Life”. Kegiatan itu juga menghadirkan Direktur Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) Tokyo Izumi Tanaka yang membawakan seminar bertajuk “Memikirkan Nasib Palestina-Timur Tengah dan Masa Depan Kita” serta kuliah oleh Dr. Takemoto Megumi, spesialis JICA yang ditempatkan di Palestina dari Desember 2021-Maret 2024”.
Baru-baru ini pada 18 November, seniman manga Naoki Urasawa menggelar lelang karya seninya untuk membantu anak-anak di Gaza. Pencipta 20th Century Boys dan Monster itu bekerja sama dengan Watermelon Seeds Fundraiser untuk misi kemanusiaan tersebut. Lelang itu berlangsung hingga 24 November tahun ini. (Red)
Sumber : republika.co.id