Katakepri.com, Kota Bharu – Seruan-seruan resmi berisi larangan berpolitik di masjid-masjid di Malaysia meluas ke berbagai daerah. Fenomena ini muncul di tengah kekhawatiran menguatnya politik identitas di Malaysia.
Pada 18 Januari 2023 lalu, Putra Mahkota Johor Tunku Ismail, yang merupakan ketua Dewan Agama Islam negara bagian, memerintahkan semua kegiatan di masjid yang melibatkan wacana keagamaan serta pembicara yang terlibat harus disetujui terlebih dahulu oleh pejabat terkait.
Sedangkan menurut Free Malaysia Today, Dewan Adat Islam dan Melayu Kelantan mengingatkan pengurus masjid untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik apapun selama Pemilihan Umum ke-15 akhir tahun lalu.
Pada Kamis (2/3), Dewan Agama Islam dan Adat Melayu (MAIDAM) Terengganu mengumumkan kebijakan melarang politikus menyampaikan ceramah dan khotbah keagamaan di masjid dan surau. Hal ini seturut perintah penguasa negara bagiannya Sultan Mizan Zainal Abidin.
Sultan Mizan disebut marah karena ada beberapa politikus yang telah memberikan ceramah dan kelas agama tanpa persetujuan dewan. Mayoritas pemilih di Terengganu dalam pemilu akhir tahun lalu memilih Parti Islam Se-Malaysia (PAS). Partai itu masih bersikeras menggunakan masjid sebagai sarana “amar ma’ruf nahi munkar“.
Yang terkini, Mufti Kelantan, Datuk Mohamad Shukri Mohamad menegaskan bahwa sebanyak 603 masjid di Kelantan yang berada di bawah naungan Dewan Agama Islam dan Adat Melayu (MAIK) tidak boleh dijadikan panggung politik. Ia mengatakan, MAIK tidak pernah membiarkan pihak manapun menjadikan masjid sebagai arena politik sejak lembaga keagamaan itu didirikan pada 1915.
“Politik tidak bisa dipisahkan dari Islam, tetapi partai politik harus dipisahkan dari masjid, dan individu yang ingin berbicara atau mengajar (di masjid) harus memiliki kredensial. Hanya penceramah bersertifikat yang bisa mengajar di masjid, dan hal ini dikendalikan oleh MAIK, sebagai lembaga yang mengurusi hal-hal tersebut, agar mereka (masjid) tidak terganggu dengan situasi hingga menimbulkan keresahan,” kata Mohamad seperti dilansir the Sun pada Kamis (9/3/).
Pernyataan tersebut disampaikan Datuk Mohamad dalam jumpa pers usai peluncuran Buku Dies Natalis ke-150 Masjid Muhammadi (1867-2017) di Perpustakaan MAIK pada Rabu (8/3). Ia mengatakan hal itu menanggapi keputusan Sultan Selangor, Sultan Sharafuddin Idris Shah, sebagai kepala negara dan kepala agama Islam di Selangor, bahwa masjid di negara bagian itu harus bebas dari pengaruh dan unsur politik untuk mencegah perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan agama.
Mohamad Shukri mengatakan, di Kelantan pernah ada upaya untuk menjadikan masjid sebagai ajang politik, namun upaya tersebut gagal karena pemerintah negara bagian terus memantau masalah tersebut untuk menghindari masjid digunakan untuk kepentingan partai.
“Sejauh ini tidak ada kasus, dan masjid di negara bagian tidak disalahgunakan dengan unsur politik. Oleh karena itu, pengurus masjid perlu memastikan bahwa hanya penceramah yang memiliki kredensial pengajar agama dari MAIK yang boleh memberikan ceramah di masjid, sebagaimana diatur dalam Pasal 91 Penetapan MAIK,” ujarnya.
Presiden PAS Datuk Seri Abdul Awang sebelumnya menegaskan bahwa khotbah politik harus diizinkan di masjid dan surau. Anggota parlemen untuk Marang itu mengatakan bahkan Nabi Muhammad SAW diketahui memberikan khotbah politik di masjid-masjid. “Kita harus menyadari dalam Islam, politik dan agama tidak dapat dipisahkan. Bahkan para nabi memberikan khotbah politik,” katanya kepada wartawan di Marang, Terengganu, Sabtu (4/3) malam.
“Apa yang salah harus kita bicarakan. Baik itu tentang ekonomi, politik atau apa pun, umat Islam wajib angkat bicara jika mereka melihat sesuatu yang salah,” kata dia menambahkan.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menanggapi, larangan tersebut harus dihormati semua pihak. PM Anwar menyebut, larangan itu berlaku untuk semua pihak, termasuk dirinya sendiri.
“Dalam menghormati perintah (oleh otoritas agama), saya menghindari berbicara ketika saya berhenti di masjid untuk shalat Jumat,” kata politikus dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang bersaing dengan PAS pada Pemilu 2022 itu, Selasa (7/3).
Patut dicatat, PKR dan PAS sempat satu koalisi pada 2013 dalam gabungan Pakatan Rakyat. PAS kemudian melepaskan diri dari koalisi itu pada 2015. Penyebabnya adalah ketaksepakatan dalam klausul penerapan syariah Islam antara PAS dengan Parti Tindakan Demokratik (DAP) yang berhaluan sekuler dan berbasis masa etnis Tionghoa dan India di Malaysia.
Larangan berpolitik di masjid itu tak lepas dari isu soal politik identitas yang menggelayuti Malaysia sejak Pemilihan Umum Malaysia pada 2022 lalu.
Narasi berbasis ras mendominasi obrolan politik di medsos Malaysia selama dan pasca berakhirnya pemilu parlemen tersebut. Di platform Tiktok, misalnya, sejumlah pengguna aplikasi tersebut melaporkan tentang banyaknya unggahan tentang kerusuhan ras mematikan di Kuala Lumpur pada 13 Mei 1969. Sekitar 200 orang tewas dalam bentrokan. Peristiwa berdarah itu terjadi setelah partai-partai oposisi yang didukung komunitas etnis Tionghoa melakukan terobosan dalam pemilu tiga hari sebelumnya.
Partai-partai yang bersaing pada Pemilu 2022 tersebut sedikit banyak memang menggambarkan kecenderungan politik identitas. Aliansi Barisan Nasional yang dipimpin partai yang sempat lama berkuasa, Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO), mengusung diteruskannya kebijakan Ketuanan Melayu. Kebijakan itu menekankan hak-hak khusus warga Melayu di Malaysia.
Sementara Pakatan Harapan yang komponen utamanya adalah PKR yang dipimpin Anwar Ibrahim dan DAP cenderung digemari kaum muda karena sikapnya yang lebih inklusif. Pemilu tersebut sempat menemui jalan buntu hingga akhirnya pemerintahan terbentuk. (Red)
Sumber : republika.co.id