Flexing atau Pamer dalam Pandangan Hukum Islam

Katakepri.com, Jakarta – Menilik kasus viral maraknya anak pejabat yang pamer harta kekayaan orang tua. Islam memiliki pandangan sendiri mengenai hal ini. 

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Ustadz Oni Sahroni menjelaskan dalam bahasa Inggris, flexing berarti ‘pamer’. Perilaku flexing dipahami sebagai sikap konsumtif yang mencolok, menghabiskan uang untuk membeli barang-barang mewah dan layanan premium demi menunjukkan status atau kemampuan finansial.

Misalnya, membeli kendaraan mewah dan mengunggahnya di akun-akun media sosialnya.

Namun Islam sebenarnya mengatur adab ketika memiliki aset atau kekayaan. Adab-adab inilah yang seharusnya dapat diterapkan oleh setiap muslim, di antaranya:

Pertama, Karena Allah SWT

Saat bekerja dan mengelola aset hendaknya dapat menempatkan harta sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah SWT dengan optimal dan memaksimalkan kontribusi sosialnya untuk khalayak. Harta adalah karunia Allah SWT. Manusia dengan segala kemampuan dan totalitasnya hanya berikhtiar untuk menemukan rezeki yang sudah disediakan Allah untuknya hingga ia bersyukur.

Harta adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat Al Kahfi ayat 46 disebutkan:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Kedua, Merasa Cukup

Totalitas agar berkecukupan itu menjadi keniscayaan dan tuntutan syariat Islam ini. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “… yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri (HR Bukhari).

Ketiga, Terpenuhi Kebutuhan Dasar

Memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan standar (kebutuhan primer dan sekunder).  Sebagaimana firman Allah SWT surat Al an’am ayat 141:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dialah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. Akan tetapi, janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Keempat, Hidup Sederhana

Sederhana dan tidak berlebih-lebihan ini bagian dari adab seorang Muslim dan Muslimah. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW: 

“Sesungguhnya kesederhanaan sebagian dari iman” (HR Abu Dawud).

Berpikir Ulang Jika Hendak Pamer

Saat ingin mengunggah kekayaannya di ruang publik seperti akun media sosial, masing-masing bertanya, apakah ada kebutuhan ataukah sekadar pamer, tentu yang paling mengetahui motifnya adalah diri sendiri. Seseorang ingin menjual rumahnya dan diunggah di media supaya pasar tahu dan rumahnya terjual itu menjadi sesuatu yang lumrah karena ada kebutuhan pemasaran.

Namun, jika tidak ada kebutuhan atau hanya sekadar pamer semata, itu bukan bagian dari adab-adab Islami. Baik adab mengelola aset maupun adab bermedia sosial.

“Jika tidak ada kebutuhan atau hanya sekadar pamer semata, itu bukan bagian dari adab-adab Islami, baik adab mengelola aset maupun adab bermedia sosial,”ujar Ustadz Oni.

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:

“Barang siapa yang pamer kepada orang lain dengan perbuatannya, Allah akan memamerkannya di hadapan makhluk-Nya dan menjadikannya terhina dan direndahkan” (HR. Ahmad).

Dan karena flexing yang dilakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang menurun dan jumlah angka dhuafa yang tinggi akan melukai perasaan mereka serta membuka pintu hasad (dengki) masyarakat. Sesuatu yang merugikan pemilik aset dan harta.

Sesungguhnya memiliki banyak aset dan kekayaan itu bagian dari tuntunan syariah, tetapi tidak untuk ditampilkan atau menjadi penampilan dan gaya yang glamor. Sejatinya kekayaan tersebut dimiliki agar seluruh kebutuhan keuangannya dapat terpenuhi, bisa berbagi kepada orang lain.

Sejatinya dengan harta berlimpah dan aset berkecukupan, sedekah, dan kontribusi sosialnya pun banyak dan terlihat nyata serta penampilan yang sederhana (tidak berlebihan). 

Adapun yang harus ditunaikan adalah berzakat dan kontribusi sosial. Semakin meningkat kemampuan finansialnya dan kekayaanya, semakin besar zakat dan kontribusi sosialnya.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh banyak para sahabat hartawan, seperti Utsman bin Affan yang bagi sebagian para sahabatnya tidak diketahui sebagai seorang hartawan karena penampilan dan gayanya yang sedehana.

Namun, kemudian ia diketahui sebagai hartawan beraset berlimpah karena infaknya yang banyak dan donasinya yang besar. (Red)

Sumber : republika.co.id