Katakepri.com, Jakarta – Eksistensi kaum yang menyerupai lawan jenis–kini marak disebut LGBT–sudah muncul sejak zaman Nabi Luth AS. Begitu pula pada masa Nabi Muhammad SAW. Saat Rasulullah SAW hidup, orang-orang dengan perangai menyimpang itu ada.
Seperti diungkapkan dalam hadis yang diriwayatkan dari jalur az-Zuhri hingga ummul mukminin Aisyah RA. Pada zaman Nabi SAW dahulu, ada seorang lelaki banci yang biasa masuk menemui istri Rasulullah SAW.
Orang-orang menganggapnya termasuk lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Pada suatu hari, Nabi SAW masuk ke dalam rumahnya, sedangkan lelaki tersebut sedang menggambarkan perihal seorang wanita.
Lelaki itu mengatakan bahwa wanita tersebut, apabila datang, melangkah dengan lemah gemulai. Apabila pergi, ia melangkah dengan cara demikian, disertai dengan goyangan pantatnya.
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah kulihat orang ini mengetahui apa yang ada di sini? Jangan biarkan orang ini masuk menemui kalian!”
Rasulullah SAW mengusir lelaki itu. Sejak itu, si pria yang gemulai tersebut tinggal di padang gurun. Barulah ia masuk ke kota setiap hari Jumat untuk mengemis dan meminta makanan.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis yang bersumber dari Ummu Salamah. Dia mengatakan, Rasulullah SAW masuk ke rumahnya. Ketika itu, di hadapan Ummu Salamah dan Abdullah bin Abu Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah) terdapat lelaki banci.
Lelaki banci itu berkata, “Hai Abdullah, jika Allah memberikan kemenangan kepadamu atas (kota) Taif besok, maka boyonglah anak perempuan kalian. Karena sesungguhnya, dia bila datang menghadap dengan langkah yang lemah gemulai. Dan bila pergi, ia melangkah dengan lemah gemulai disertai dengan goyangan pantatnya.”
Perkataannya itu terdengar oleh Rasulullah SAW. Beliau lalu bersabda kepada Ummu Salamah, “Jangan biarkan orang ini masuk menemuimu!”
Kita bisa menyimpulkan adanya hadis ini menunjukkan, Rasulullah SAW tak menggolongkan kaum LGBT sebagai “lelaki yang tak mempunyai hasrat seksual.” Ini bisa terlihat jelas pada hadis yang bersumber dari Aisyah di atas.
Jika nabi menggolongkannya termasuk “yang tak mempunyai hasrat seksual”, maka lelaki itu tak akan diusir karena dia mendapat pengecualian, misalnya, untuk bisa melihat aurat perempuan Muslimah.
Bagaimana dengan Alquran surah al-Isra ayat ke-84? Firman Allah Ta’ala itu kadang dimaknai sebagai “pengakuan” atas keragaman orientasi seksual?
قُلۡ كُلٌّ يَّعۡمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖؕ فَرَبُّكُمۡ اَعۡلَمُ بِمَنۡ هُوَ اَهۡدٰى سَبِيۡلًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.'”
Menurut mufasir Prof Quraish Shihab, syakilah yang dimaksud dalam ayat ini pada mulanya digunakan untuk menyebut cabang pada suatu jalan. Ibnu ‘Asyur memahami kata ini dalam arti ‘jalan’ atau ‘kebiasaan’ yang dilakukan seseorang. Adapun Sayyid Quthb memahaminya sebagai ‘cara’ dan ‘kecenderungan.’
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan, potensi, dan pembawaan yang menjadi pendorong aktivitasnya. Tidak ada tafsir dari para ulama mengenai keragaman orientasi seksual atas ayat tersebut. (Red)
Sumber : republika.co.id