Katakepri.com, Jakarta – Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Benni Irwan, menanggapi kekhawatiran munculnya potensi abuse of power dalam aturan memperbolehkan penjabat atau Pj kepala daerah dibolehkan untuk memutasi maupun memberhentikan pejabat. Surat edaran tersebut diteken Mendagri, Tito Karnavian, pada 14 September 2022.
Menurut Benni, pada intinya surat edaran ini hanya menyampaikan dua hal. Pertama, memberikan izin kepada penjabat atau pelaksana tugas kepala daerah dalam menjatuhkan sanksi, hukuman disiplin, maupun memberhentikan ASN yang tersangkut korupsi.
“Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) 94 Tahun 2021 bahwa pejabat harus menetapkan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat bagi ASN yang tersangkut korupsi,” kata Benni kepada Tempo, Jumat, 16 September 2022.
Ia mencontohkan, jika seorang ASN ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi, maka pelaksana tugas maupun penjabat mesti melakukan pemberhentian sementara. Namun, kata dia, hal ini sebelumnya tidak bisa langsung dilakukan karena harus ada izin tertulis dari Mendagri terlebih dulu.
“Harus ijin Mendagri terlebih dahulu, sedangkan amanat PP 94 Tahun 2021 harus segera diberhentikan sementara,” kata dia.
Selain itu, Benni menyebut surat edaran ini memberikan izin bagi penjabat maupun pelaksana tugas dalam menerima dan melepas ASN yang mengusulkan pindah status kepegawaian antar daerah alias mutasi.
“Sebagai contoh, seorang penjabat Bupati akan melepas ASN pindah ke kabupaten lain, namun kedua Bupati tadi untuk menandatangani surat melepas dan menerima harus mendapatkan ijin Mendagri terlebih dahulu, padahal proses selanjutnya mutasi antar daerah tersebut akan tetap diproses juga oleh Ditjen Otda Kemendagri dan Badan Kepegawaian Negara (BKN),” ujanya.
Menurut Benni, pemberian ijin bagi penjabat untuk memutasi ini dapat mempercepat proses pelayanan mutasi. Sebab, penandatanganan izin melepas dan ijin menerima diserahkan kepada penjabat.
“Sedangkan untuk mutasi pejabat internal daerah lainnya, seperti pengisian jabatan tinggi pratama dan administrator di daerah, penjabat Kepala Daerah tetap harus mendapatkan izin tertulis Mendagri,” kata Benni.
Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 ini ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota di seluruh Indonesia. Dalam poin 4a tertera bahwa Tito memberikan persetujuan tertulis kepada Pj, Pelaksana tugas (Plt), dan Penjabat sementara (Pjs) Gubernur atau Bupati atau Wali Kota untuk memberhentikan atau memberikan sanksi kepada pejabat di lingkungan pemerintahan daerah.
Ada kekhawatiran melampaui kewenangan
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, menyatakan surat edaran tersebut merupakan tanda kemunduran serius dalam perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik. Pasalnya, kewenangan penjabat sudah diatur cukup jelas dalam Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
“Itu sudah cukup jelas memuat larangan bagi penjabat. Surat edaran yang dikeluarkan Mendagri berpotensi disalahgunakan oleh para penjabat yang sebenarnya tidak memiliki hak dan mandat dari rakyat karena mereka dipilih Mendagri,” kata Umam kepada Tempo, Jumat, 16 Agustus 2022.
Menurut Umam, aturan baru ini berpotensi membuka peluang terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, penjabat pada dasarnya bersifat sementara.
“Ini juga yang membuat design tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak itu salah. Mestinya dilakukan pada 2022 atau 2023 supaya kekosongan kekuasaan tidak terjadi terlalu lama,” ujarnya. (Red)
Sumber : tempo.co