Katakepri.com, Jakarta – Suatu hari, seorang ayah meminta putranya memimpin bisnis toko besinya yang ia tinggalkan selama pergi haji. Nak, ayah pesan selama ayah di Tanah Suci, jika ada yang berutang, jangan dikasih. Bilang saja, tunggu ayah pulang dari pergi haji, demikian pesan sang ayah kepada putranya.
Selang beberapa hari, datang saudara ayahnya. Dia mau membeli semen dengan cara berutang. Si anak pun berkata, “Maafkan saya Pak, saya tidak berani mengkhianati amanah yang ayah saya berikan. Ayah saya berpesan, jika ada yang berutang, tunggu ayah pulang haji.” Dengan berbagai cara, saudara ayah ini merayu agar tujuan utangnya terkabul. Namun, sang anak tetap konsisten dengan pesan yang ayahnya berikan.
Dari cerita pendek ini, kita bisa melihat betapa amanah pada zaman now mudah didapat, tapi tak mudah dipertahankan karena makin banyaknya godaan. Bahkan, saat ini amanah diperebutkan, dikontestasikan, dikompetisikan satu dengan lainnya. Tujuannya hanya satu, jabatan. Dalam bahasa guru para motivator David McClelland’s disebut needs for power. Setiap orang punya kebutuhan untuk berkuasa. Mulai di lingkup terkecil, seperti keluarga, RT, RW, kepala desa, sampai lingkup terbesar seperti presiden. Agama pun memberikan satu nasihat bijak pada kita akan hal ini.
Nabi Muhammad SAW bersabda, Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin. Imam (pejabat apa saja) adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawabannya tentang apa yang dipimpinnya.
Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Perempuan (istri) juga pemimpin, dalam mengendalikan rumah tangga suaminya, dan ia akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Pembantu rumah tangga juga pemimpin dalam mengawasi harta benda majikannya, dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. (HR Ahmad, Muttafaq `alaih, Abu Daud, dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Karena setiap kita adalah pemimpin, sejatinya amanah itu embedded(melekat) sejak kita terlahir di dunia. Hidup itu amanah.
Maka itu, ketika masih hidup, gunakan amanah berupa kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Dengan cara melakukan yang baik dan benar serta menghindari yang buruk dan salah. Kalimat ini terasa sederhana, tetapi tidak semua orang mampu menjalaninya.
Bahkan, tidak jarang di antara kita yang terjerumus karena tipu daya dunia (QS Ali Imran: 185). Di sinilah perlunya jihad dalam arti mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan ego, nafsu sesaat, dan hal- hal yang membuat kita menyesal pada akhirnya. Tak mudah memang, tapi yang berhasil itulah yang menjadi pemenang dan surga hadiahnya (QS al-Muthaffifin: 22).
HujjatulIslam Imam Al-Ghazali pun pernah mengingatkan kepada kita semua untuk mewaspadai dunia yang penuh dengan tipu daya. Dunia memancarkan segala keindahannya sehingga kita terkadang lupa akan akhirat yang kekal selamanya. Dunia selalu menggoda manusia agar melupakan tujuannya. Dalam Alquran, Allah SWT berulang-ulang mengingatkan agar orang yang beriman hati-hati dan waspada, jangan tertipu kehidupan dunia yang penuh tipu daya. Utamakanlah kehidupan akhirat yang kekal dan tidak ada batas akhirnya (QS al-Qashas: 77).
Dari sinilah, kita bisa tarik simpulan bahwa amanah tak perlu diperebutkan karena ia melekat sejak kita dilahirkan. Orang berbuat salah dan dosa, sejatinya telah mengkhianati amanah yang Allah berikan. Dari sikap meremehkan kesalahan-kesalahan kecil yang akhirnya melahirkan kesalahan besar. Korupsi contohnya. Awalnya kecil-kecilan. Tapi karena tak ketahuan akhirnya besar pun ia lakukan. Ketika tertangkap tangan, penyesalan pun tak ada guna.
Padahal, jelas sekali Allah itu Maha Melihat segala yang kita lakukan. Bahkan, yang tak terlihat pun Allah lihat (QS at-Taubah:78); (QS ar-Ra’du: 9); (QS al-Mulk: 14).
Karena itulah, ayo mulai dari diri sendiri kita belajar menjadi manusia amanah (tepercaya). Dengan cara konsisten pada kebenaran dan kebaikan semua perintah-Nya. Kekuatan amanah itu pun akan menjadikan kita manusia pilihan di tengah banyak. (Red)
Sumber : republika.co.id