Kepala Daerah “Rela” Korupsi Demi Pilkada, Mengapa Demikian?

katakepri.com, Jakarta – Kasus yang menjerat Bupati JombangNyono Suharli Wihandoko merupakan salah satu contoh penyelenggara negara yang rela melalukan korupsi demi mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Diketahui, Nyono merupakan calon petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Jombang dalam Pilkada serentak 2018. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) uang suap yang diterima Nyono dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti digunakan untuk ongkos politik ikut Pilkada.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kepala daerah melakukan korupsi.

“Sejak sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, sang calon membutuhkan biaya agar dapat dikenal para pemilih,” ujar Fickar kepada Kompas.com, Senin (5/2/2018).

Calon tersebut membutuhkan biaya survei, turnamen olahraga, ataupun kegiatan massal untuk memperkenalkan dirinya ke masyarakat. Tak terkecuali oleh petahana meski sosoknya telah dikenal sebelumnya.

“Tentu saja ini butuh biaya banyak,” kata Fickar.

Selain itu, calon tersebut harus membayar “sewa perahu”, yakni partai politik, untuk mengusung dirinya. Mahar politik yang dibutuhkan juga memiliki angka yang besar. Apalagi jika butuh koalisi beberapa parpol.

Fickar mengatakan, biaya kampanye dan saksi juga tidak murah. Namun, biaya politik yang besar itu tak cukup ditutupi dari pendapatan murni kepala daerah.

Imbasnya, akumulasi dari pengeluaran-pengeluaran itu menyebabkan kepala daerah mencari uang tambahan. Jika sudah terpilih sebagai kepala daerah, maka dia akan mencari peluang untuk memgembalikan ongkos yang sudah dikeluarkan. Apalagi jika kepala daerah tersebut kembali mencalonkan diri dan butuh dana lebih banyak lagi.

“Konsesi-konsesi sumber daya alam biasanya diobral walaupun merusak lingkungan, dan lain sebagainya,” kata Fickar.

Fickar menilai, sistem pengawasan pemerintah masih sangat lemah di semua tingkatan, termasuk terhadap puncak pimpinan. Oleh karena itu, ia mengingatkan pentingnya keterlibatan maayarakat untuk ikut mengawasi.

Terkait penangkapan Nyono, Fickar menyebut Bawaslu berwenang merekomendasikan pembatalan pencalonan ke Komisi Pemilihan Umum.

“Untuk sementara kariernya habis, tapi orang politik itu bisa ‘mati’ berkali-kali,” kata Fickar.

“Jika sudah menjalani hukuman bisa terjun lagi ke politik,” lanjut dia.

Dalam kasus Nyono, suap tersebut diberikan oleh Inna agar Nyono, selaku bupati, menetapkan Inna sebagai Kepala Dinas Kesehatan definitif.

Total suap yang diberikan kepada Nyono, kata Laode, berjumlah Rp 275 juta.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengungkapkan bahwa sebagian uang suap tersebut digunakan Nyono sebagai dana kampanye dalam Pilkada 2018.

“Diduga sekitar Rp 50 juta telah digunakan NSW (Nyono) untuk membayar iklan terkait rencananya maju dalam Pilkada Kabupaten Jombang 2018,” ujar Laode.

Menurut Laode, uang suap tersebut berasal dari kutipan atau pungutan liar jasa pelayanan kesehatan dan dana kapitasi dari 34 puskesmas di Jombang. Pungutan liar itu sudah dikumpulkan sejak Juni 2017 dengan jumlah total sekitar Rp 434 juta. (Red)

Sumber : kompas.com