katakepri.com, Singapura – Mulai tahun ini, Singapore International Film Festival (SGIFF) memiliki fokus pada penggarapan acaranya. Indonesia adalah negara pertama yang menjadi fokus dalam penyelenggaraan festival tersebut.
Di antara berbagai film dari penjuru dunia, ada sejumlah film Indonesia yang ditayangkan dalam rangkaian perhelatan tersebut. Mulai dari ‘Posesif’, ‘Ziarah’, ‘The Seen and Unseen’, ‘Sunya’, hingga lain sebagainya.
Film produksi bersama Indonesia-Singapura garapan sutradara Kan Lumé dan Djenar Maesa Ayu yang berjudul ‘hUSh’ pun turut tayang dan melakukan international premiere dalam acara itu.
Hal tersebut dikarenakan adanya perayaan 50 tahun bilateral antara Indonesia-Singapura di tahun ini. Namun lebih dari itu, Programme Director dari Singapore International Film Festival (SGIFF) 2017, Pimpaka Towira, berpendapat bahwa saat ini, Indonesia tengah mencapai masa keemasan dari filmnya.
Menurut pandangannya dan penyelenggara lainnya, kebangkitan film Indonesia muncul signifikan setelah jatuhnya orde baru dan memasuki era reformasi. Ia menambahkan, hal itu tak hanya terlihat dari jumlah tapi juga kualitas.
“Kami rasa kini ada banyak pembuat film yang dapat mengekspresikan kebebasan mereka. Cara bercerita yang sangat baik. Ada sekelompok orang di Indonesia yang mulai membuat film dengan nilai-nilai politis,” tuturnya saat ditemui di kawasan Merchant Road, Clarke Quay, Singapura, baru-baru ini.
“Bukan hanya topik yang politis, tapi juga distribusi dan industri film secara keseluruhan. Kita bisa melihat film Indonesia kini berkelana ke berbagai negara, menariknya, tidak hanya dalam festival luar negeri, tapi juga dalam negerinya,” tambah Pimpaka Towira.
Ia melihat hal tersebut terjadi karena adanya keberanian sekaligus kebebasan berpendapat yang diperoleh setelah reformasi. Kebebasan itu pada akhirnya membuat para sineas menjadi kian ekspresif sehingga mengeluarkan karya-karya dengan tema yang beragam.
Berbagai karya bukan hanya berhasil memperlihatkan betapa beragamnya tradisi dan nilai budaya di Indonesia, namun juga mengangkat persoalan dan membuka dialog bagi isu tersebut.
Pimpaka Towira menyebutkan film ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak’ sebagai contohnya. Film tersebut menampilkan persoalan perempuan yang ada di belahan lain Indonesia, bukan hanya Jakarta, yakni Sumba.
Film garapan Mouly Surya yang juga tayang di SGIFF 2017 itu pun menjadi satu-satunya film dari Asia Tenggara yang mendapat layar dalam Cannes Festival Film di Prancis tahun ini.
“Yang saya lihat dari film Indonesia, tidak hanya bisa menggambarkan apa yang terjadi di negaranya, namun juga bisa menjadi media untuk bercerita,” katanya.
Film Asia Tenggara ‘Naik Kelas’
Dalam fokus Indonesia di SGIFF 2017, tema yang diangkat adalah ‘History of Tomorrow: Indonesia Cinema After the New Order’. Ia pun menyebutkan, dalam mencari tema tersebut, pihak penyelenggara berbincang banyak dengan pembuat film dan akademisi di Jakarta dan Yogyakarta.
Selain film panjang, dalam fokus tersebut ada pula penayangan film pendek yang berasal dari kota-kota di Indonesia. Film-film pendek tersebut adalah ‘Ijolan’ (Purbalingga), ‘Jalan Pulang’ (Flores), ‘Dewi Pulang’ (Jakarta), ‘Cermin’ (Palu), ‘Sepanjang Jalan Satu Arah’ (Jakarta), ‘Urut Sewu Bercerita’ (Kebumen), dan lain sebagainya.
Soal negara apa yang akan menjadi fokus untuk tahun depan, Pimpaka mengatakan hal itu masih dalam tahap pembicaraan. Yang jelas, ia mengatakan bahwa ia ingin sinema di Asia, khususnya Asia Tenggara, naik kelas ke level yang lebih tinggi lagi.
“Pada dasarnya kami ingin mengeksplorasi semua negara. Itu menjadi bagian dari komitmen kami untuk Asia Tenggara,” jelasnya.
Singapore International Film Festival 2017 adalah salah satu acara dari rangkaian Singapore Media Festival 2017. Gelaran tersebut berlangsung pada 23 November hingga 3 Desember 2017. (Red)
Sumber : detik.com