katakepri.com – Penyakit arterivenous malformation (AVM) mungkin masih masih asing di telinga. Namun penyakit ini sempat mengemuka setelah kasus meninggalnya artis Egidia Savitri–pemenang GADIS Sampul 1994 berdarah Minangkabau–pada penghujung November 2013 lalu.
Penyakit ini sempat disebut-sebut sebagai varises otak. Kesalahan prasangka ini, menurut ahli saraf dari FKUI-RSCM Pukovisa Prawirohardjo, disebabkan pembuluh vena otak yang tampak melebar.
“Penampakan ini mirip kondisi vena saat varises di kaki. Padahal, keduanya jelas berbeda. Pada AVM, pembuluh vena di otak tampak melebar karena tidak mampu menahan tingginya tekanan darah dari pembuluh arteri,” terangnya kepada Kompas.com waktu itu.
Penyakit AVM, terang Pukovisa, merupakan kelainan pembuluh darah yang diakibatkan hubungan langsung arteri dan vena. Kondisi ini bisa terjadi pada organ manapun selain di otak. Penyakit ini juga dapat menyerang pria dan wanita dengan kemungkinan yang sama.
Pada aliran darah yang normal, arteri dan vena dihubungkan pembuluh kapiler, tempat darah disuplai nutrisi dan oksigen. Di pembuluh ini pula, tekanan darah yang tinggi pada arteri berkurang secara drastis. Tekanan yang rendah lebih sesuai dengan struktur pembuluh vena yang tidak seberotot pembuluh arteri.
Pada kondisi normal, pembuluh vena membawa kembali darah yang penuh limbah metabolisme. Darah yang berasal dari berbagai jaringan ini dibawa kembali ke jantung untuk kemudian dipompa kembali ke semua jaringan.
Dua kondisi ini tidak terjadi pada penderita AVM, akibat arteri dan vena yang terhubung langsung tanpa perantara pembuluh kapiler. Akibatnya, darah tidak mendapat suplai oksigen dan nutrisi dengan optimal. Kurangnya pasokan tentu berefek pada organ lain yang menggantungkan asupan nutrisi dan oksigen pada darah.
Akibat lainnya adalah, tekanan darah yang mengalir pada vena dari arteri tetap tinggi tanpa sempat dikurangi terlebih dulu di pembuluh kapiler. Padahal dengan struktur yang lebih berotot, arteri jelas lebih mampu menahan tingginya tekanan dibanding vena. Pada beberapa kasus pembuluh vena pada akhirnya pecah karena tidak mampu menahan tingginya tekanan.
Pecahnya pembuluh menyebabkan darah menggenangi rongga tengkorak. Pertambahan volume yang tidak dibarengi pelebaran ruangan, menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga tengkorak. Kondisi yang disebut tekanan tinggi intrakranial ini, pada akhirnya menekan dan mendesak otak. Bila terus terjadi, tekanan ini akan mengenai batang otak yang merupakan pusat kehidupan. Akibatnya penderita akan merasakan pusing hebat atau kejang.
Kondisi kejang merupakan dampak jaringan yang error, akibat kekurangan suplai nutrisi dan oksigen. Kejang sendiri akan meningkatkan tekanan tinggi intrakranial dalam otak. Jika tingginya tekanan mengenai batang otak maka nyawa pasien bsia terancam dan tewas, layaknya Egidia.
Meski begitu, AVM bukanlah penyakit yang parah seketika. Penyakit ini membutuhkan waktu, sampai kemudian menjadi semakin parah. “Biasanya penderita kerap mengalami pusing yang sebetulnya semakin parah dan sering. Sayangnya kondisi ini kerap diabaikan dan dianggap biasa karena sering terjadi,” kata Pukovisa.
Rasa pusing, kata Pukovisa biasanya baru terjadi saat penderita beranjak dewasa. Kelainan pembuluh darahnya sendiri sudah terjadi sejak penderita masih kecil. Karena itu, apa yang terjadi pada Egidia merupakan peringatan untuk tidak meremehkan nyeri kepala yang sering terjadi tanpa penyebab tertentu.
“Yang patut diperhatikan adalah rasa pusing yang makin berat dan sering, sebagai gejala utama AVM. Bila merasa sering pusing tanpa tahu penyebabnya maka mungkin saja merupakan nyeri kepala bahaya, yang membutuhkan penanganan lanjutan,” kata Pukovisa. Pada penderita pecah pembuluh darah (aneurisma), rasa pusing terasa sangat hebat dan belum pernah dirasakan sebelumya.
AVM, kata Pukovisa bukanlah penyakit yang bisa dicegah. Tapi penyakit ini jelas bisa dikendalikan dan diterapi. Terapi dengan operasi dan pengobatan akan meredakan gejala pusing dan kejang.
Selanjutnya terapi akan mencegah pecahnya pembuluh vena yang bisa mengancam nyawa pasien. Karena itu, Pukovisa menyarankan penderita AVM secepatnya melakukan terapi sebelum nyeri kepala semakin hebat, yang merupakan tanda tekanan dalam otak yang semakin tinggi dan ancaman besar bagi batang otak.
Faktor risiko
Sejalan dengan perkembangan penyakit, AVM memiliki beberapa faktor risiko. Bila dilanggar faktor risiko ini akan meningkatkan tekanan darah arteri, yang berarti memperbesar tekanan pada vena.
“Faktor risiko antara lain dimiliki penderita hipertensi. Namun faktor risiko bisa dihindari jika penderita mengendalikan tekanan darahnya dan menjauhi hal yang memicu peningkatan tensi. Hal ini sebaiknya juga dilakukan penderita yang kerap pusing tanpa tahu sebabnya, dan secepatnya konsultasikan ke dokter,” kata Pukovisa. Faktor risiko lain adalah stres, aktivitas fisik, dan benturan kepala.
sumber : K. Tatik Wardayati – intisari-online.com