Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada Jadi Indikasi Kemunduran Demokrasi

Katakepri.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menyoroti fenomena calon kepala daerah memborong dukungan banyak partai untuk memenangkan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024. Dia berpendapat fenomena ini akan terjadi di banyak daerah. 

“Saya kira fenomena kotak kosong di pilkada akan banyak bermunculan di Indonesia,” kata Adi dalam pesan suara yang diterima Tempo melalui aplikasi WhatsApp, Ahad, 4 Agustus 2024.

Adi menduga ada faktor kelelahan berpolitik yang dirasakan oleh para elit partai karena jarak pelaksanaan antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pilkada Serentak tak terpaut jauh. “Jadi, wajar kalau partai politik terkesan lemah, lesu untuk menghadapi pilkada di 545 daerah,” ujarnya. 

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menilai banyak partai politik yang tidak semangat untuk saling bertarung. Akibatnya, menurut Adi, para elit partai lebih memilih jalan pragmatis dengan cara berkongsi dengan figur paling kuat untuk diusung. 

“Mereka lelah secara politik, logistik, dan mesin. Mereka juga masih belum move on terkait pemilu yang lalu,” kata Adi. 

Adi menilai bahwa fenomena ini menurunkan praktik demokrasi. Dia menyayangkan partai politik lebih memilih untuk mengusung calon tunggal yang memunculkan kotak kosong. 

“Kalau partai politik pada akhirnya berkongsi dan berkoalisi tanpa memajukan calon penantang, ya di situlah demokrasi macet,” kata Adi.

Ia pun memberi contoh Pilkada Kabupaten Sumenep yang berpeluang melahirkan satu pasangan tunggal, yakni Achmad Fauzi Wongsojudo-KH. Imam Hasyim (Fauzi-Imam). Adapun daerah itu merupakan basis suara Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau Sekjen PBNU Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. 

Salah satu kemungkinan besar pilkada lawan kotak kosong juga terjadi di Pilkada Kota Batam. Dari 12 partai, setidaknya saat ini sudah ada 11 partai mengusung pasangan Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra.

Sebelumnya fenomena Pilkada hanya diikuti satu calon saja dan melawan kotak kosong pernah terjadi di Pilkada Makassar dan Sumatera Barat lima tahun lalu. Kini, fenomena tersebut mulai kelihatan saat kandidat memborong semua partai untuk mendukungnya.

Berkenaan dengan itu, pakar politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai kemunculan fenomena kotak kosong disebabkan oleh kegagalannya kaderisasi partai politik. Selain itu, ada kecenderungan bagi partai politik ingin menang tanpa punya lawan. 

Ujang menilai kemunculan pasangan calon tunggal yang melawan kosong hanya akan memundurkan demokrasi karena tidak memberikan akses bagi calon pemimpin unggul dan terbaik.  “Anak-anak bangsa yang berprestasi dan bagus tak diberi kesempatan untuk bisa memimpin daerah karena calonnya cuma satu,” kata Ujang kepada Tempo, Ahad.

Ia menduga ada praktik  money politics ketika memborong partai untuk mendapatkan tiket atau ‘perahu’ pencalonan. Dia berpendapat bahwa tidak ada yang ikhlas dan gratis dalam berpolitik. 

“Jika pilkada ada dua kandidat atau lebih, money politics-nya untuk pemilih. Namun, jika pilkada calonnya tunggal, maka dolarnya untuk partai-partai,” kata Ujang.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari sebelumnya menyoroti fenomena kandidat calon kepala daerah memborong partai untuk memenangkan Pilkada 2024. Menurut dia, fenomena merangkul semua partai untuk maju di pemilihan kepala daerah telah terjadi sejak lama.

“Tentu saja sebagai fenomena membuat demokrasi kita menjadi miskin, karena keterlibatan caleg kaya yang mampu memberikan mahar kepada partai politik sehingga tidak muncul pesaing-pesaing yang berpotensi membuat mereka kalah,” kata Feri kepada Tempo, Rabu, 1 Agustus 2024. 

Namun kata Feri, kotak kosong bukan berarti pasangan tunggal tersebut tidak bisa dikalahkan. “Kasus di Makassar pernah terjadi kotak kosong malah menang pertarungan, sayangnya akibat dari kotak kosong menang itu, tentu saja tidak ada kepala daerah yang defenitif yang ujung-ujungnya ditunjuk oleh pemerintah pusat,” ujarnya.

Sesungguhnya kata Feri, kotak kosong bukanlah demokrasi sesungguhnya. “Kotak kosong bukan demokrasi konstitusional proses pemilihan langsung, tetapi demokrasi rekayasa yang seolah-olah demokrasi, sejatinya adalah bancakan partai politik, dan kepentingan elite, dan calon-calon kepala daerah kaya yang mampu melakukan segala cara melakukan rekayasa kekuasaan,” katanya.

Menurut Feri, salah satu konsep demokrasi adalah pertarungan gagasan. “Kalau hanya satu calon, gagasan apa yang dipertarungkan,” kata dia.

Feri menilai gagasan dipertarungkan agar pemilih punya alternatif pilihan yang menurut mereka baik. “Bagaimana mereka bisa memilih gagasan kalau gagasan itu cuma muncul dari satu pasangan calon. Gagasan tidak muncul dari kotak kosong,” kata dia. (Red)

Sumber : tempo.co