Katakepri.com, Jakarta – Dalam Islam, suami dan istri sama-sama dibebani tanggung jawab yang berbeda. Dalam hal nafkah, Alquran secara tegas memberikan tanggung jawab itu kepada laki-laki.
Allah berfirman dalam Alquran Surat Al Baqarah ayat 233, “Wal-walidatu yurdina auladahunna haulaini kamilaini liman arada ay yutimmar-radaah(ta), wa alal-mauludi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-maruf(i), la tukallafu nafsun illa wusaha, la tudarra walidatum biwaladiha wa la mauludul lahu biwaladihi wa alal-warisi mislu zalik(a), fa’in arada fisalan an taradim minhuma wa tasyawurin fala junaha alaihima, wa in arattum an tastardiu auladakum fala junaha alaikum iza sallamtum ma ataitum bil-maruf(i), wattaqullaha walamu annallaha bima tamaluna basir.”
Yang artinya, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (men-derita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apa-bila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Namun bagaimana jika suami dan istri tukar peran? Istri yang bekerja di luar untuk mencari nafkah, sedangkan suami di rumah mengurus segala keperluan rumah tangga.
Wakil Ketua Bahsul Masail PBNU KH Mahbub Maafi menjelaskan, pada dasarnya kewajiban mencari nafkah secara mutlak memang merupakan kewajiban suami. Di sisi lain, perempuan di dalam Islam pun tidak dilarang untuk bekerja.
Jika peran mencari nafkah ditukar, kata Kiai Mahbub, hal itu sah-sah saja asalkan harus dilihat sebab yang menyertainya terlebih dahulu. Jika ada unsur kedaruratan dan keikhlasan dari istri untuk menjadi tulang punggung keluarga, maka hal itu diperbolehkan.
“Kalau istri merelakan hak (kewajiban diberikan nafkah)-nya dari suami, dan dia memang ikhlas bekerja menjadi tulang punggung keluarga, boleh-boleh saja,” kata Kiai Mahbub saat dihubungi Republika, Kamis (5/10/2023) sore.
Namun demikian, beliau menekankan, hal tersebut harus diiringi dengan komitmen yang kuat serta alasan yang menyertainya. Bisa karena suami sakit keras, kehilangan pekerjaan, atau uzur lainnya. Adapun jika hal itu dikarenakan murni perintah dan keikhlasan istri agar suami mengurus rumah tangga, maka beliau menyebut hal itu tidak dipermasalahkan.
Namun demikian, kata Kiai Mahbub, suami yang membiarkan istrinya menjadi tulang punggung untuk bekerja di luar ditekankan untuk tidak abai terhadap keselamatan dan kenyamanan istri. Misalnya, kata beliau, suami dapat mengambil inisiatif untuk melakukan antar jemput istri dalam bekerja. (Red)
Sumber : republika.co.id