Depan Jokowi, Dewan Pers: Jangan Sampai Beda Pandangan Disebut Hoax

Katakepri.com, Jakarta – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyinggung akurasi dalam pemberitaan, ketika berbicara di depan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat puncak peringatan Hari Pers Nasional kemarin. Menurut Ninik, pers harus menjadi penerang bagi publik dan mampu meningkatkan intelektualitas publik.

Baik itu dalam membedakan antara berita bohong, berita hoaks, disinformasi atau misinformasi, maupun berita tidak akurat. Ninik pun ikut menyampaikan soal pelabelan hoax pada sebuah informasi.

“Jangan sampai semua informasi disebut hoax hanya karena adanya perbedaan pandangan,” kata dia dalam acara yang digelar di Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis, 9 Februari 2022.

Ninik lalu menceritakan pertemuan Jokowi dan Dewan Pers di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 6 Februari 2022. Dalam pertemuan, kata dia, Jokowi meminta pers bertanggung jawab dalam pemberitaan di tengah kebebasan saat ini.

Menyikapi permintaan Jokowi, Dewan Pers memaknai pemberitaan yang bertanggung jawab adalah pemberitaan yang dikonfirmasi kebenarannya berdasarkan etika jurnalistik. Sebaliknya, kemerdekaan yang tidak bertanggungjawab berpotensi  merugikan kepentingan publik.

“Menghambat pemenuhan hak-hak publik, bahkan dapat mencederai rasa keadilan publik,” kata anggota Ombudsman periode 2016-2021 ini.

Pers Indonesia Sepenuhnya Bebas

Dalam peringatan Hari Pers Nasional ini, Jokowi sempat berbicara soal isu utama di dunia pers. Dalam pidatonya, Jokowi sampai dua kali menyebut kalau dunia pers saat ini tidak sedang baik-baik saja.

Dahulu, kata dia, isu utama adalah kebebasan pers. “Selalu itu yang kita suarakan. tapi sekarang apakah isu utamanya tetap sama? menurut saya sudah bergeser, kurang bebas apalagi kita sekarang ini?” kata dia.

Jokowi menyebut pers saat ini mencakup seluruh media informasi yang bisa tampil dalam bentuk digital, di mana semua orang bebas membuat berita dan sebebas-bebasnya. Sehingga, Ia menilai masalah utama saat ini adalah membuat pemberitaan yang bertanggung jawab.

Jokowi menganggap isu utama pers bukan lagi kebebasan. Tapi bagi Ninik, masih ada pekerjaan rumah pada isu kebebasan ini. Ninik mengutip Indeks Kemerdekaan Pers 2022 yang menunjukkan kemerdekaan pers di Indonesia masih berada dalam rentang nilai “bebas”

Pada tingkat nasional berada pada skor 77,8. Skor ini naik tipis 1,86 poin dibandingkan tahun sebelumnya. “Data ini mengkonfirmasi pesan dari Bapak Presiden tadi,” kata Ninik. 

Tapi sebagai bangsa, Ninik menyebut upaya membangun inovasi dan meningkatkan profesionalisme pers di Indonesia tentu saja tidak akan berhenti. Pers di Indonesia, kata dia, sebaiknya sampai ke level “sangat bebas”.

“Hal ini membutuhkan situasi kondusif dalam berbagai lingkungan, baik dalam lingkungan sipil politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum,” ujar mantan Komisioner Komnas Perempuan ini.

Kasus Veronica Koman

Perkara pelabelan hoax terhadap informasi pernah terjadi beberapa tahun lalu, melibatkan aktivitas Veronica Koman. Saat itu, Solidaritas pembela aktivis Hak Asasi Manusia menyebut Veronica Koman tidak menyebarkan berita bohong atau hoax.

Solidaritas pembela aktivis HAM ini terdiri dari LBH Pers, Safenet, LBH Jakarta, YLBHI, ada Yayasan Satu Keadilan, kemudian LBH Apik, Perlindungan Insani, beserta individu-individu lain.

Menurut mereka informasi yang disebarkan Veronica valid, dan didapatkan dari kliennya dalam kapasitasnya sebagai advokat.

“Informasi yang disampaikan Veronica di twitter-nya itu adalah suatu fakta kejadian informasi yang benar-benar terjadi,” kata Tigor Hutapea dari LBH Jakarta di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta, Senin 9 September 2019.

Tiga hari sebelumnya, pada 6 September 2019, Kapolda Jawa Timur mengumumkan telah menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka yang menyiarkan berita bohong di media sosial. Menurut anggota solidaritas, polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka berdasarkan empat cuitan, yakni:

1. “Mobilisasi aksi monyet turun ke jalan untuk besok di Jayapura” tanggal 18 Agustus 2019.

2. “Moment polisi mulai tembak asrama Papua. Total 23 tembakan dan gas air mata” tanggal 17 Agustus 2019.

3. “Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa” tanggal 19 Agustus 2019.

4. “43 mahasiswa Papua ditangkap tanpa alasan yang jelas, 5 teruka, 1 terkena tembakan gas air mata” tanggal 19 Agustus 2019.

Menurut Tigor, Veronika menyebarkan informasi valid karena ia mendapatkan informasi dari kliennya, mahasiswa Papua di Surabaya. “Teman-teman di Surabaya itu menyampaikan kepada Veronica Koman dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum,” tuturnya.

Veronica, kata Tigor, berprofesi sebagai advokat sejak 2014. Ia aktif membela hak asasi manusia bahkan sejak bergabung dengan LBH Jakarta pada 2012. Veronica giat melakukan advokasi pada perempuan, buruh, minoritas, dan kelompok-kelompok rentan. Veronica pun dikenal menaruh perhatian besar pada isu pelanggaran HAM di Papua.

“Veronica Koman ini sudah menjadi advokat mahasiswa Surabaya sejak 2018 hingga saat ini,” tuturnya.

Untuk itu Veronica memiliki hak untuk melakukan advokasi, pendidikan, dan pendampingan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Pembela HAM. (Red)

Sumber : tempo.co