Bonus Akhir Tahun Cair, Baiknya Sebaiknya Investasi Untuk Apa ya?

Katakepri.com, Jakarta – Buat milenial produktif, cairnya bonus atau gaji berlebih di akhir tahun ini mulai lebih terasa, sejalan dengan pemulihan kondisi ekonomi sepanjang 2022. Lantas, apakah sebagian nilainya telah diinvestasikan, atau justru sudah telanjur habis buat belanja?

Perencana Keuangan dari Finante.id Sayoga Risdya Prasetyo memahami betul bahwa bagi anak muda, pendapatan berlebih di akhir tahun kerap menjadi momentum belanja besar-besaran. Baik untuk merealisasikan rencana liburan, atau membeli barang tertentu yang telah jadi incaran sejak lama.

“Ada pendapatan berlebih di akhir tahun, tentu tidak masalah apabila ingin dimanfaatkan untuk memuaskan hasrat belanja. Tetapi, ingat bahwa keinginan selalu bersifat tidak terbatas, sehingga kita yang harus secara sadar membatasi diri sejak awal,” ujar Sayoga kepada Bisnis, Selasa (27/12/2022).

Sayoga menyebut salah satu tips ampuh untuk membatasi belanja berlebihan di akhir tahun, yaitu dengan menentukan persentase dari total pendapatan setelah dikurangi pengeluaran-pengeluaran wajib bulanan. Secara umum, 10 persen sampai 15 persen dari pendapatan berlebih tersebut masih merupakan persentase wajar apabila milenial ingin menghabiskannya demi memuaskan hasrat konsumtif. Pasalnya, perlu diingat, periode 2023 disebut-sebut akan menjadi masa-masa yang diselimuti ketidakpastian.

Kendati belum tentu lebih buruk ketimbang hari ini, namun tanda-tandanya telah terlihat. Misalnya, masih berlangsungnya tren kenaikan suku bunga acuan untuk mengimbangi lonjakan inflasi, sampai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor industri, sejalan dengan tekanan perusahaan untuk semakin mengoptimalkan strategi efisiensi beban.

“Bicara tentang ketidakpastian 2023, tentu sejauh ini hanya sebatas sentimen dan pendapat berbagai tokoh. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Tidak ada yang 100 persen pasti dalam ekonomi. Bisa jadi sentimen itu benar, bisa jadi juga salah. Tetapi, apa pun yang terjadi, menjadi waspada dan mempersiapkan bekal lebih banyak, tentu tidak ada salahnya,” jelasnya.

Salah satu persiapan yang patut dilirik milenial, yaitu mulai memasukkan pendapatan berlebih tersebut ke instrumen investasi yang terbilang likuid. Misalnya, reksa dana pasar uang atau deposito, serta mempersiapkan tabungan uang kas yang lebih banyak dari biasanya.

Umumnya, tabungan yang paling urgen untuk dipenuhi, yaitu dana darurat. Besarnya minimum 6 kali pengeluaran bulanan untuk milenial yang masih lajang, sementara yang sudah menikah dan memiliki tanggungan, baiknya mencapai senilai 12 kali pengeluaran bulanan. Setelah dana darurat terpenuhi, milenial bisa mulai berinvestasi untuk memenuhi tujuan keuangan tertentu. Misalnya, mengumpulkan uang muka (DP) untuk membeli rumah, mengumpulkan dana untuk biaya menikah atau sekolah anak, sampai tabungan persiapan pensiun.

“Terkait instrumen investasi yang cocok untuk dipilih, tentu harus dilihat lagi tujuan masing-masing. Apakah ada tujuan keuangan dengan target di bawah satu tahun, misalnya. Kalau ada, tentu baiknya baiknya masuk instrumen investasi risiko rendah, seperti deposito atau reksa dana pasar uang,” ujarnya.

Sementara itu, apabila tujuan keuangan bersangkutan masih dalam jangka menengah, berkisar 1-3 tahun, milenial bisa memilih instrumen investasi dengan profil risiko moderat, seperti reksa dana pendapatan tetap atau obligasi.

“Lalu untuk emas bagaimana? Emas sangat berpotensi untuk mencetak rekor harga tertinggi lagi apabila resesi global di 2023 benar-benar terjadi. Akan tetapi, kembali lagi ke teori sebelumnya: tidak ada yang 100 persen pasti dalam ekonomi. Selalu ada kemungkinan baik-buruk. Jadi emas juga bisa menjadi pilihan,” jelas Sayoga.

Oleh sebab itu, Sayoga menyarankan agar milenial belajar setiap instrumen investasi yang sesuai kebutuhan dan berpeluang mempercepat mencapai tujuan keuangan di 2023. Pengetahuan itu bakal berguna dalam strategi diversifikasi, serta demi meminimalkan risiko apabila kondisi ekonomi global benar-benar mengarah ke jurang resesi. (Red)

Sumber : bisnis.com