Kontroversi BRIN Vs BMKG Soal Cuaca Ekstrem

Katakepri.com, Jakarta – Netizen dibuat heboh oleh dua prakiraan cuaca berbeda yang disampaikan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). BRIN mengatakan ada potensi hujan badai pada 28 Desember 2022. Sementara BMKG mengatakan yang akan terjadi hanya hujan lebat.

Apakah ramalan cuaca bisa dipercaya? Sebenarnya, namanya ramalan atau prediksi, bisa saja tepat atau meleset. Hal ini tergantung perkembangan situasi dan kondisi alam dan cuaca itu sendiri.

Sebelum ramai BRIN vs BMKG, akurasi prediksi cuaca di Indonesia juga pernah riuh diperbincangkan di jagat internet di tahun 2020, ketika sejumlah netizen menganggap BMKG sering meleset memperkirakan curah hujan.

Netizen di Twitter bahkan terang-terangan mengatakan mereka skeptis terhadap prakiraan cuaca yang dikeluarkan oleh BMKG. Menanggapi hal ini, BMKG mengakui bahwa prediksi cuaca tidak 100% akurat.

“BMKG mampu memberikan presisi sampai 3 km persegi (tingkat Kecamatan) dengan akurasi 80%-85% dalam waktu tiga hari sampai tiga jam sebelum kejadian,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pada Januari 2020, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

BMKG mengakui prakiraan cuaca di Indonesia tidak mudah. Pasalnya Indonesia sebagai negara ekuator memiliki kerumitan dan ketidakpastian dibandingkan negara-negara yang jauh dari ekuator. Fenomena atmosfer dan cuaca di Indonesia, disebut Dwikorita sangat rumit.

“Kompleksitas ini makin meningkat dan tidak pasti karena Indonesia adalah negara kepulauan lautan lebih luas dari daratannya dan diapit oleh dua samudera terbesar di dunia yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,” jelasnya.

Cara BMKG prediksi cuaca
Disebutkan Dwikorita, dalam melakukan prakiraan cuaca tak hanya menggunakan pemodelan prediksi hujan Global Forecast System (GFS) yang diproduksi Pusat Nasional untuk Prediksi Lingkungan (NCEP) Amerika Serikat.

“Hasil pemodelan dari GFC dianalisis atau dimodelkan lanjut dengan menggunakan data-data obsevasi oleh BMKG dari Satelit Himawari dan Radar Cuaca [40 Radar Cuaca],” ujarnya.

Prediksi GFC akan makin tidak akurat kalau dipakai untuk memprediksi potensi hujan ekstrem seminggu atau sepuluh hari sebelumnya.

Ia menjelaskan, GFC memiliki kelemahan untuk memprediksi kawasan kepulauan Indonesia. Kelemahan pemodelan prediksi cuaca secara global seperti GFC adalah di tingkat resolusinya yang kasar atau tidak presisi.

“Kesulitan prediksi cuaca di wilayah kepulauan Indonesia ini bisa disiasati dengan integrasi antara prediksi cuaca dan prediksi iklim. Integrasi lanjutan juga dilakukan dengan hasil observasi data satelit setiap 10 menit dan data radar secara real time,” jelasnya.

Seluruh langkah tersebut harus selalu diperbarui setiap hari setiap tiga jam. Bahkan apabila terdeteksi gejala ekstrem, proses pemutakhiran prediksi harus setiap jam hingga setiap 10 menit untuk menyesuaikan perkembangan potensi kondisi ekstrem.

Cara BRIN prediksi cuaca
BRIN mendasarkan analisanya dari SADEWA BRIN. SADEWA adalah singkatan dari Satellite-based Disaster Early Warning System. Melansir situs LAPAN BRIN, SADEWA BRIN adalah produk litbang LAPAN BRIN. Ini adalah sistem informasi peringatan dini bencana terkait atmosfer ekstrem yang dikembangkan berbasis teknologi satelit dan juga dilengkapi sensor-sensor terestrial. Masyarakat umum juga bisa memantau cuaca menggunakan SADEWA.

Menanggapi keriuhan perbedaan prakiraan cuaca ini, peneliti Klimatologi dari Pusat Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin menyebut tak mau diadu-adu perihal ucapannya yang memprediksi potensi banjir besar dan badai dahsyat pada 28 Desember 2022.

Menurutnya, apa yang disampaikannya adalah hasil dari riset yang dilakukan. “Saya nggak mau diadu-adu. Badai dalam terminologi meteo itu sebuah sistem. Storm system. Bisa berjenis apa saja. Kalau hujan merata se-Jawa Barat, apa mungkin itu hujan biasa,” kata Erma saat dihubungi detikcom, Rabu (28/12/2022).

Menurut Erma, hujan yang merata ini diturunkan dari sistem badai. Erma memberikan analisis berdasarkan riset yang dilakukan. “Jelas itu diturunkan dari awan badai skala meso, yang disebut dengan MCC. Saya ini periset yang mendasarkan apapun pada teori dan apa yang dikaji. Yang saya share adalah knowledge, dari riset tim kami sendiri,” katanya.

Erma menyebut, dirinya dan tim berfokus terhadap perilaku dari badai. Dia menyebut hujan kali ini bukanlah hujan yang timbul dari sistem biasa. Erma juga menjelaskan hal ini melalui akun Twitter miliknya, @EYulihastin. (Red)

Sumber : detik.com