Katakepri.com, Jakarta – Berhias bagi perempuan mempunyai batasan yang sangat ketat. Apalagi bila berhiasnya untuk agar orang lain melihatnya. Apakah wanita yang telah bersuami dan memiliki karier di luar boleh berhias diri atau berdandan saat bekerja? Bagaimana pandangan Islam terhadap hal tersebut?
Pakar fikih, KH Mahbub Ma’afi Ramdlan, menjelaskan perkara berhias atau berdandan bagi perempuan yang memiliki karier atau pekerjaan di luar rumahnya itu terkait dengan aurat perempuan.
Pada dasarnya, tidak ada masalah soal berhias karena wanita memang senang berhias dan ini kodratnya mereka.
Islam adalah agama yang memperhatikan keindahan dan kebersihan. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk menjadi hamba Allah SWT yang memperhatikan keindahan dan kebersihan. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
ن الله جميل يحب الجمال “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahaindah dan menyukai hal yang indah.”
“Dari hadits ini dapat dipahami bahwa Allah SWT sebenarnya menyukai hamba-Nya yang bisa menjaga diri dengan merawat dirinya dan menjaga kebersihan. Termasuk dalam hal ini perempuan dengan mempercantik dirinya, apalagi untuk kepentingan ibadah,” ujar Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU ini.
Berdasarkan hal tersebut, perempuan boleh melakukannya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan syariat. Misalnya, dalam berhias tidak menampakkan aurat dan tidak berpakaian dengan yang ketat atau transparan.
Islam sangat memperhatikan perlindungan kepada perempuan dengan memerintahkan mereka untuk menutup aurat. Persoalannya kemudian adalah mengenai batasan aurat karena terdapat perbedaan pandangan ulama.
Salah satu bagian nash yang diperselisihkan penafsirannya oleh para ulama adalah frasa dalam surah an-Nur ayat 31:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ “… dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat ….”
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maksud dari “apa yang biasa terlihat”.
Misalnya, menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud “apa yang biasa terlihat” adalah wajah, kedua telapak tangan, dan cincin.
Pendapat itu senada dengan pandangan yang diriwayatkan Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abi asy- Sya’tsa, adl-Dlahhak, Ibrahim an-Nakha’i, dan selainnya. Demikian pula yang dikemukakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Kiai Mahbub memaparkan, pandangan Ibnu Abbas dan para ulama yang mengikutinya pada kenyataannya menjadi pandangan mayoritas ulama, yaitu wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam kitab Adhwa’ al-Bayan Fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an.
Meski wajah dan telapak tangan perempuan bukan aurat, sebisa mungkin bagi pria harus menghindari memperhatikannya karena dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah. Hal itu sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Asna al-Mathaliba karya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, “Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat sebab adanya kebutuhan untuk menampakkannya.
Hanya saja, diharamkan memperhatikan keduanya karena menjadi sumber fitnah.” Kiai Mahbub juga mengingatkan untuk tidak menghakimi niat orang lain, dalam hal ini menuding seorang perempuan bersolek untuk mencari perhatian pria yang bukan mahramnya.
Dalam konteks fikih, tidak ada yang mengetahui niat perempuan tersebut dalam berdandan karena niat terletak di dalam hati. “Kalaupun niatnya pamer atau untuk menarik perhatian banyak orang, ya, tidak boleh dan dia tidak akan mendapatkan kebaikan. Tetapi, kita tidak bisa menghukumi mereka,” paparnya. (Red)
Sumber : republika.co.id