Psikolog Wanti-wanti Sleepover Date Bisa Picu Depresi

Katakepri.com, Jakarta – Selain sleepover date, pernahkah mendengar kata “staycation” atau “Friend With Benefits (FWB)”? Istilah-istilah itu sebenarnya memiliki makna yang sama terkait seks bebas.

Namun, belakangan istilah yang viral di Twitter tersebut menjadi kontra bagi masyarakat di Indonesia karena dianggap menormalisasikan hubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa adanya ikatan yang sah. Tidak hanya di media sosial, tongkrongan atau circle pergaulan yang ‘toxic’ ternyata memberikan pengaruh besar untuk seseorang mengikuti tren sleepover date.

Jika hal ini terus berlanjut dalam jangka panjang akan menimbulkan efek atau risiko yang cukup signifikan, baik dari segi mental maupun fisik. Bahkan, tak jarang dari mereka punya keinginan untuk bunuh diri akibat depresi dengan perilaku seksual tersebut.

“Ketika pelakunya ditinggal sepihak, tapi baper (bawa perasaan) muncul rasa sedih dan ketidakberhargaan dirinya jadi nol banget, itu bisa saja terjadi. Apalagi, dia dari awal tidak betul-betul mengenal pasangannya sehingga ada keinginan bunuh diri saat di level depresi,” kata Anastasia Sari Dewi, S.psi, M.psi, ahli psikolog klinis dan founder pusat konsultasi Anastasia and Associate dalam program E-Life detikcom, Jumat (16/9/2022).

Selain itu, lambat laun tren ini membuat orang berperilaku pura-pura baik atau faking good sehingga sulit untuk membangun komitmen hubungan dengan pasangan, pertemanan, dan relasi kerja.

Perlu digarisbawahi, kebanyakan hubungan tanpa ikatan yang sah dan jelas bisa kandas tanpa melihat waktu. Tren sleepover date bukan layaknya sebuah film romantis yang di mana skenarionya menceritakan sebuah hubungan langgeng sampai maut memisahkan. Meskipun ada yang mendapatkan cerita indah itu, tidak berarti orang lain bisa merasakannya pula.

Anastasia berpesan kepada orang yang terlanjur ‘basah’ dengan sleepover date atau istilah sejenis untuk merubah pola pikirnya kalau hal tersebut hanya ekspresi tanpa arti. Sebab, hubungan yang bermakna memiliki tiga komponen mengacu pada Teori Cinta Stenberg, yaitu hasrat, keakraban, dan komitmen.

“Saya pakai Teori Cinta Stenberg itu ada tiga komponen. Selain ada hasrat, tetapi juga keakraban dan komitmen. Jika salah satu ada yang ‘pincang’, kemungkinan akan berakhir cepat atau lambat,” tuturnya.

Bila merasa sudah tidak nyaman dengan kebiasaan ini dan sulit dihilangkan, beranikan diri untuk berkomunikasi dengan pasangan guna memutuskan hubungan tersebut atau ajak ia ke jenjang yang lebih serius. Di sisi lain, cari bantuan psikolog profesional supaya mendapat terapi atau perawatan ekstra terkait kebiasaan tersebut. (Red)

Sumber : detik.com