katakepri.com, Jakarta – Wakil Presiden ke-11 RI Boedionomenyambangi Gedung Merah-Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI di Jakarta, pada Kamis pagi (28/12/2017).
Kedatangan Boediono tidak ada dalam jadwal atau agenda penyidikan/pemeriksaan KPK.
Namun, Ketua KPK Agus Rahardjo mengonfirmasi kedatangan mantan Menteri Keuangan (Menkeu) era Megawati Soekarnoputri itu dalam rangka pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI).
(Baca juga : Mantan Wapres Boediono Sambangi Gedung KPK)
“(Diperiksa sebagai) Saksi sewaktu beliau Menkeu, saat peristiwa itu terjadi,” kata Agus kepada Kompas.com, Kamis.
Boediono tiba di Gedung KPK sekitar pukul 9.45 wib, dengan mengenakan batik berwarna cokelat. Boediono tersenyum kepada wartawan yang menanyakan maksud kehadirannya.
Ia mengaku belum tahu agendanya di KPK.
“Belum tahu ini. Saya kan baru datang,” kata Boediono seperti dikutip Tribunnews.com.
Hingga berita ini diturunkan, Boediono masih berada di dalam Gedung KPK.
Terkait penyelidikan SKL BLBI ini, KPK pernah meminta keterangan mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Kwik Kian Gie.
(Baca juga : Hasil Audit BPK, Kerugian Negara Korupsi BLBI Capai Rp 4,58 Triliun)
Adapun Kwik pernah mengatakan kalau semua mantan pejabat di bidang ekonomi mengetahui persis kebijakan BLBI, termasuk penandatanganan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) selaku mekanisme penyelesaian utang BLBI para obligor.
Selain nama Bambang, Kwik menyebut mantan Menkeu Boediono. Untuk Bambang, Kwik mengatakan bahwa dia punya peran dalam kasus BLBI karena ikut membidangi pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Mekanisme penerbitan SKL ini sendiri dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Laksamana Sukardi.
Penyimpangan BLBI
Untuk diketahui, bantuan BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Dari Rp147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas.
Selain itu, terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui grup bank tersebut.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), upaya menyeret para koruptor dana BLBI selalu terbentur kendala penegakan hukum.
Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para konglomerat hitam.
Untuk penanganan perkara korupsi BLBI, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Kejaksaan Agung saat dipimpin MA Rachman menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004.
SP3 diterbitkan atas dasar SKL yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No 8/2002.
SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan inpres tentang release and discharge.
Berdasar inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah.
Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.