Katakepri.com, Jakarta – Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) tidak setuju dengan penerapan sanksi pidana terhadap orang yang dianggap melanggar pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat. Sebab, aturan PPKM itu sendiri dinilai carut-marut sejak awal.
“Pemerintah membuat kebijakan soal sanksi tanpa memperhatikan tata hukum yang ada, terlalu sering menerobos kewenangan,” kata Direktur ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Selasa, 20 Juli 2021.
Aturan sanksi bagi pelanggar PPKM tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. Dalam diktum kesepuluh aturan itu tertulis, setiap orang yang melakukan pelanggaran dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular akan dikenakan sanksi.
Pemberian sanksi itu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 212 sampai dengan Pasal 218, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah dan Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan lain.
Erasmus mengatakan, Instruksi Mendagri ini mengesankan begitu mudahnya menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Padahal, hukum pidana tak bisa serta merta diterapkan tanpa memperhatikan unsur perbuatan jahat. Sanksi pidana pun hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah, tidak dalam instruksi menteri.
Erasmus menilai kesalahan pengaturan sanksi ini sudah terjadi sejak awal pandemi ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kesalahan itu kembali terulang dalam pelaksanaan PPKM. Menurut Erasmus, ini menandakan bahwa pemerintah tak membahas secara serius ihwal sanksi pelaksanaan PSBB dan PPKM ini.
“Padahal pemberlakuan sanksi memuat pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
ICJR menyoroti sejumlah kasus penghukuman warga dengan denda serta penyitaan alat-alat atau barang jualan warga tanpa mekanisme pemulihan dan uji yang jelas. Sedangkan di sisi lain, aparat yang berkerumun tidak dihukum.
Menurut Erasmus, aparat juga tak sensitif dan progresif dalam penegakan hukum. Misalnya, aparat justru menjatuhkan pidana penjara kepada warga yang tak sanggup membayar denda karena melanggar PSBB atau PPKM.
Erasmus mengatakan tujuan dari pembatasan kegiatan adalah menahan laju penyebaran Covid-19. Ia menilai aneh jika orang yang melanggar justru dikirim ke bui, tempat yang sulit untuk menerapkan protokol kesehatan.
“Hukuman tidak mesti denda dan penjara dalam lapas, bisa secara progresif diperkenalkan penahanan rumah sebagai hukuman, kerja sosial berkontribusi pada penanggulangan wabah, dan sebagainya,” kata Erasmus.
Seorang pemilik kedai kopi di Tasikmalaya, Jawa Barat, Asep Lutfi, sebelumnya memilih dipenjara selama tiga hari ketimbang membayar denda Rp 500 ribu karena melanggar protokol kesehatan selama PPKM darurat. Ia harus menjalani kurungan di Lembaga Pemasyarakatan Tasikmalaya setelah ada putusan pengadilan. (Red)
Sumber : tempo.co