Adab dan Tata Cara Utang-Piutang ke Kerabat Biar Nggak Jadi Perkara

Katakepri.com, Jakarta – Pinjam meminjam uang antar saudara, teman ataupun kerabat terdekat sering kali terjadi. Namun seringkali juga berujung masalah ketika salah satu pihak tidak bisa menunaikan kewajibannya.

Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto menjelaskan, jika dilihat dari kacamata pengelolaan keuangan, dalam suatu utang piutang maka yang paling berisiko adalah orang yang memberikan pinjaman.

“Karena dia yang asetnya berkurang. Sehingga yang meminjam si sebenarnya risikonya nggak sebesar yang memiliki aset. Itu kalau bicara secara keuangan. Berbeda kalau secara sosial dan sebagainya, itu kan terkait nama baik,” terangnya saat dihubungi detikcom, Minggu (9/5/2021).

Menurut Eko bagi si peminjam atau debitur hal yang harus dipikirkan paling utama adalah bagaimana cara membayarnya sebelum mengajukan utang ke saudara, teman atau kerabat. Pastikan jika kita memiliki pemasukan di masa depan yang bisa membayar utang tersebut.

Aturan dalam hal perencana keuangan bisa dijadikan acuan. Misalnya porsi untuk membayar cicilan utang setiap bulannya harus 30% dari total pemasukan bulanan, tidak boleh lebih.

Misalnya meminjam uang ke saudara, teman atau kerabat dan berjanji akan mengembalikannya 3 bulan ke depan. Maka jumlah pinjaman dibagi 3 dan hasilnya harus tidak boleh lebih dari 30% penghasilan bulanan.

“Sehingga ketika orang mau meminjam dia harus berpikir atau punya gambaran bagaimana cara membayarnya, atau dia sudah punya sumber penghasilannya,” tuturnya.

Jika ada barang yang bisa dititipkan sebagai jaminan jauh lebih baik. Namun menurut Eko jika memiliki barang berharga lebih baik digadaikan ke lembaga gadai seperti Pegadaian.

“Kalau punya barang bisa digadaikan ya kenapa harus ke saudara, kenapa nggak ke Pegadaian, kan ada lembaga-lembaga bisa untuk seperti itu,” ucapnya.

Memang menggadaikan barang ke saudara atau teman lebih baik secara hitung-hitungan dibanding ke Pegadaian, karena mungkin tidak ada bunga. Namun jika dipertimbangkan kembali, risikonya lebih besar menggadaikan ke saudara, selain kemungkinan barang hilang tapi juga nama baik yang dipertaruhkan.

“Kalau terlambat atau kita tidak bisa bayar kan bukan hanya mobilnya hilang tapi nama baiknya juga hancur. Kalau di pegadaian kan hanya barangnya saja yang hilang, nama baik kita tidak rusak di depan keluarga, dan saya rasa nggak semua orang ingin dikenal sebagai pengutang. Cap peminjam itu kan akan terus nempel kemanapun kita berjalan,” tuturnya.

Perencana Keuangan Aidil Akbar sebelumnya kepada detikcom pernah menjelaskan, jika ingin berutang tentunya si peminjam jangan mudah tersinggung jika si pemberi pinjaman ingin membuat perjanjian utang piutang. Apalagi jika jumlahnya besar.

“Kalau masalah besaran nominal itu kan setiap orang tentunya berbeda-beda. Kalau dirasa nominalnya besar ya sebaiknya dilakukan perjanjian tertulis,” tuturnya.

Aidil menyarankan untuk membuat perjanjian tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak di atas materai. Bisa disertakan juga fotocopy KTP dari kedua belah pihak sebagai pelengkap.https://300e8b2c8e8c8a72e5255a060d8fd32b.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-38/html/container.html

“Kalau dia memang serius mau meminjam utang pasti dia mau untuk tanda tangan. Kalau dia tersinggung dan tidak mau bikin perjanjian ya berarti kita ada alasan untuk menolak. Jangan takut hubungan akan rusak dengan buat perjanjian, karena toh dengan tidak buat perjanjian hubungan berpotensi rusak juga ketika kita nagih nantinya,” terangnya.

Kedua, jika nominal utangnya juga dianggap besar, pastikan ada saksi dari pihak pemberi pinjaman saat menandatangani perjanjian.

Ketiga, jika memungkinkan ada barang yang bisa dijadikan jaminan. Barang-barang yang dimaksud bisa disesuaikan dengan besaran utang yang diberikan. (Red)

Sumber : detik.com