Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Dinilai Represif

Katakepri.com, Jakarta – Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menanggapi pernyataan sejumlah pengamat politik yang menilai pemerintahan Jokowi-Ma’ruf saat ini represif dan tidak demokratis. Menurut Moeldoko, yang dilakukan pemerintah hanya menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan demokrasi.

“Kami hanya menjaga keseimbangan. Ada seni menjaga stabilitas berjalan dengan baik, tapi demokrasi juga jangan dikurangi. Kalau kami abai terhadap stabilitas, maka ada kecenderungan menjadi anarkis,” ujar Moeldoko di kantornya, Rabu, 21 Oktober 2020.

Menurut Moeldoko, kehidupan berdemokrasi juga memiliki aturan main agar tidak menggangu ketertiban umum. “Demokrasi harus terkawal oleh sebuah regulasi yang tepat, agar tidak berjalan ke arah yang salah. Ini saya lukiskan seperti patung Liberty di Amerika, di satu sisi api kebebasan diangkat setinggi-tingginya, tapi konstitusi tetap dia pegang erat,” ujar Moeldoko.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebelumnya menilai Indonesia sedang mengalami resesi demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi. “Tidak hanya resesi ekonomi, resesi demokrasi pun terjadi di Indonesia,” ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.https://13c61d63d57daa6745ebcf7f9eeab1b3.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-37/html/container.html

Hal ini, lanjut dia, ditandai penyusutan ruang sipil, peningkatan budaya kekerasan, pengabaian agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan pada urusan sipil, serta minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi yang substansial.

Peneliti dari Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan, dari aspek penyusutan ruang sipil, lembaganya mencatat ada 157 peristiwa pelanggaran demokrasi dalam satu tahun terakhir. Pelanggaran paling banyak adalah pembatasan hak berkumpul, yakni 93 peristiwa, pembatasan hak berekspresi sebanyak 60 peristiwa, dan serangan terhadap kebebasan sipil sebanyak 4 peristiwa. Metode serangan dilakukan lewat peretasan, intimidasi, doxing, dan penyiksaan di ruang cyber.

Serangan terhadap kebebasan berekspresi mulai terlihat saat masyarakat menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan pada tahun lalu. Saat itu, sejumlah aktivis antikorupsi dan akademikus yang menolak revisi UU KPK mengalami peretasan dan intimidasi, hingga berlanjut pada UU Cipta Kerja saat ini. (Red)

Sumber : tempo.co