Katakepri.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan regulasi Pemilu, khususnya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, membuat kekuasaan hanya bisa diakses para pemilik modal atau oligarki.
“Regulasi memberikan karpet merah untuk oligarki. Kenapa saya katakan begitu? Ada irasionalitas ambang batas pencalonan presiden, yang ini kemudian menghambat kelompok muda, perempuan, lalu kelompok marginal, dan kader-kader terbaik partai untuk menguji kesempatan di dalam proses kontestasi,” katanya dalam seminar daring bertajuk Rembug Nasional, Rabu, 22 Juli 2020.
Menurut Titi, keberadaan ambang batas Presiden membuat akses kepada jabatan publik menjadi sangat terbatas.
Hal itu dianggap menjadi ironi, karena di satu sisi partai politik didorong melakukan kaderisasi secara optimal. Tetapi kader-kader terbaik seringkali tidak bisa maju karena terhambat oleh persyaratan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah yang bersumber dari hasil Pemilu DPR sebelumnya.
“Bayangkan, kita sistem presidensil yang karakternya adalah di mana Pemilu Presiden terpisah dengan Pemilu Parlemen, tetapi pencalonannya bergantung pada kekuatan yang ada di Parlemen,” ujar Titi.
Dalam sistem tersebut, Titi menilai banyak inkonsistensi yang membuat akses kepada kekuasaan hanya bisa digapai oleh segelintir golongan dengan kekuatan politik yang disokong oleh kekuatan modal.
Tidak hanya Pilpres, kesulitan akses itu, kata Titi, juga terjadi di Pemilu Legislatif dan Pilkada yang ambang batas pencalonannya terus naik.
Selain itu, kebijakan partai yang tersentralisasi dan tidak demokratis ditambah biaya pendirian partai yang sangat besar dinilai Titi memberikan jalan kekuasaan bagi pemilik modal.
“Karena mendirikan partai di Indonesia pun sangat berat, sangat mahal. Kata Marcin Walecki, butuh 10 sampai 15 juta Dolar AS untuk mendirikan partai di Indonesia, dan itu juga yang berkontribusi bagi oligarki,” ujar Titi. (Red)
Sumber : tempo.co