Katakepri.com, Jakarta – Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) mencatat, terdapat 427 kasus ketidaknetralan aparatur sipil negara ( ASN) menjelang Pilkada Serentak 2020.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, kebanyakan ketidaknetralan itu ditunjukkan dalam bentuk dukungan kepada bakal calon kepala daerah tertentu.
“Ada 427 pelanggaran hukum berkaitan dengan netralitas ASN. Dari keseluruhan perbuatan yang sudah kami klasifikasi, yang paling banyak adalah perbuatan memberi dukungan melalui media sosial,” ujar Ratna dalam konferensi pers di Kantor Bawaslu, Selasa (14/7/2020).
Berdasarkan catatan ini, Ratna mengungkapkan, ke depannya pengawasan kampanye Pilkada Serentak 2020 akan fokus kepada penggunaan media sosial.
Pasalnya, jauh sebelum tahapan kampanye, para ASN sudah memberikan dukungan secara jelas di media sosial masing-masing. “Karena pada tahapan ini sudah menunjukkan banyaknya ASN yang memanfaatkan media sosial untuk memberikan dukungan terhadap bakal calon kepala daerah,” tutur Ratna.
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tumpak Haposan Simanjuntak mengatakan, hingga saat ini sudah ada 379 aduan soal ketidaknetralan ASN menjelang Pilkada Serentak 2020.
Aduan tersebut telah dilaporkan langsung kepada Komisi ASN (KASN) serta telah ditindaklanjuti.
“Di sana-sini sudah ada pengaduan-pengaduan. Contoh saja, aduan soal netralitas ASN ke KASN ada 379 aduan, yang juga sudah disampaikan dan diabahas dengan Bawaslu,” ujar Tumpak saat mengisi acara ‘Rapat Optimalisasi Satgas Saber Pungli Dalam Pengawasan Dampak COVID-19 Guna Pencegahan Pungutan Liar Pada Pelayanan Publik’ di Kantor Kemendagri, Selasa (30/6/2020).
Menurut Tumpak, pihaknya segera membahas netralitas ASN dalam Pilkada dengan KemenPANRB
Kemendagri dan Kemenpan-RB akan menyusun surat keputusan bersama (SKB) soal implementasi menjaga netralitas ASN di lapangan. SKB tersebut nantinya juga akan membahas sanksi bagi ASN jika masih terbukti melanggar aturan netralitas selama Pilkada. Sebab, kata Tumpak, saat ini ada dua aturan hukum yang mengatur sanksi bagi kepala daerah dan ASN.
Keduanya, yakni UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Aturan ini banyak diduplikasi sehingga membuat penjatuhan sanksi ke kepala daerah apabila ada kasus soal pelanggaran netralitas jadi agak rancu,” ungkap dia.
“Sementara itu, kami sehari-hari banyak menerima aduan bahwa rekomendasi ASN banyak yang tidak ditindaklanjuti kepala daerah. Inilah kenapa kami pakai UU Nomor 23 Tahun 2014 dalam konteks penjatuhan sanksi administratif dan pemberhentian sebab semua sudah diatur jelas,” tambah Tumpak. (Red)
Sumber : kompas.com