katakepri.com, Jakarta – Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Ambon, Fahri Bachmid mendorong amandemen ke-5 Konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NKRI) 1945, untuk penataan mekanisme pemakzulan atau pemberhentian Presiden RI.
Hal ini dia sampaikan juga dalam disertasinya yang berjudul “Hakikat Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut UUD 1945”
Fahri Bachmid menyampaikan disertasi ini di Kampus Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI), Jl Urip Sumoharjo, Makassar, Sulsel, Selasa (5/3/2019)
Dalam penelitiannya, kedudukan presiden sangat vital menentukan perjalanan bangsa ke depan, termasuk kehidupan ketatanegaraannya.
Kekuasaan presiden baik secara atributif maupun derivatif punya kekuasaan tunggal dan posisi kuat sehingga untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan pemerintahan harus ada mekanisme koreksi demi terciptanya pemerintahan yang demokratis.
“Pengalaman pemakzulan atas Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid ternyata mengandung banyak kelemahan terutama bersumber dari konstitusi yang belum mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemakzulan-termasuk perbuatan yang dapat mengakibatkan seorang presiden dimakzulkan,” katanya di Hotel Four Points by Sheraton Hotel, Jl Andi Djemma, Makassar, Sulsel, Minggu (10/3/2019).
Menurutnya, pemakzulan Soekarno dan Abdulrahman Wahid lebih kental nuansa politik ketimbang hukum. “Saat itu, tak ada bentuk hukum serta mekanisme ketatanegaraan yang jelas untuk memberhentikan Presiden,” katanya.
Saat ini, memang sudah ada mekanisme untuk memberhentikan presiden, tapi dia menganggap masih ada kelemahan-kelemahan yang cukup mendasar serta prinsip, yang berkaitan dengan kaidah-kaidah pemberhentian dengan segala implikasi yuridisnya.
“Kelemahannya yakni pemberhentian presiden atau wakil presiden RI hanya menjadikan Mahkamah Konstitusi (MK) di posisi tengah, bukan penentu. Menurut saya MK harus menjadi lembaga pemutus akhir dan final serta mempunyai daya laku dan mengikat kepada lembaga negara lainya yang harus diikuti oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),” katanya.
Berdasarkan desain konstitusional saat ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B serta ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 kata Penasehat Hukum Gubernur Maluku ini, Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa memberhentikan presiden, tetapi proses pemberhentian kepala negara (Presiden) ada ditangan MPR (desecion maker).
“Ia pun mencontohkan, ketika presiden dinyatakan bersalah oleh MK, tapi dia tak bisa langsung diberhentikan karena pemberhentian itu melalui MPR, di sinikan ada voting, ketika presiden itu menang voting maka tidak jadi diberhentikan,” katanya.
Sehingga, dia menganggap kelemahan UUD 1945 terletak pada mekanisme pemberhentian Presiden itu,yang mana tidak ada prinsip keseimbangan antara daulat hukum dan daulat rakyat.
Padahal, mestinya clear jika proses pemberhentian presiden harus mengutamakan prinsip kedaulatan hukum (supremasi hukum),dan bukan supremasi politik.
Seharusnya menurut Fahri, MPR hanya mensahkan pemberhentian itu kerena sudah jelas kesalahannya, segala hal telah dibuktikan secara materil melalui persidangan-persidangan yang dilakukan secara terbuka melalui peradilan yang mengutamakan prinsip ‘fair trial’ di MK selama 90 hari persidangan.
“Dengan demikian, secara hipotetis bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum mendapat tempat yang proporsional dalam model impeachment/pemakzulan presiden karena hukum menjadi panglima dalam proses penentuan kebersalahan presiden,” ungkapnya.
Dia pun mencontohkan, kasus pelecehan oleh Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton. Ketua Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat (AS) membuktikan secara sah Bill Clinton melanggar. “Saat itu sidangnya dipimpin oleh Chief Of Justice atau Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat,” katanya. (Red/Hum)
Sumber : sindonews.com