Rakyat Hanya Statistik

Ditulis oleh : Yuji Imatsub

Katapkepri.com, Tanjungpinang – Negara ini, dengan segala perangkat kekuasaan dan statistiknya, telah gagal memanusiakan manusia. Sepuluh nyawa dianggap remeh. Seribu pelajar diperlakukan sebagai catatan pinggir. Jutaan penganggur ditulis di laporan, tapi dihapus dari perhatian. Semua dikurung dalam kata-kata dingin: “sebagian kecil”.

Logika itu lahir dari sistem politik demokrasi yang menjadikan rakyat sekadar bilangan. Suara dihitung, tapi hidup diabaikan. Selama mayoritas masih tampak “baik-baik saja”, penderitaan minoritas bisa dibuang ke tong sampah. Padahal justru dari “yang sedikit” itulah terlihat wajah asli kekuasaan: apakah ia mengabdi atau menindas.

Kelaparan bukanlah bencana alam, tapi bencana politik. Itu buah dari kebijakan yang berpihak pada pasar, bukan pada manusia. Sama seperti kemiskinan, pengangguran, keracunan massal, semua itu lahir dari logika sistem yang menuhankan angka dan menindas manusia.

Berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, nyawa satu orang saja memiliki nilai yang tak bisa ditukar dengan apapun. Rasulullah Saw. bersabda: “Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. an-Nasa’i). Satu orang saja, bukan ribuan. Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah pengurus umat (ra’in), bukan pengumpul statistik. Setiap kebijakan diukur dari apakah rakyat terlindungi, bukan apakah angka-angka ekonomi naik.

Di mata Islam, rakyat bukan angka. Mereka adalah amanah. Negara adalah penanggung jawab, bukan perusahaan pencatat data. Jika ada yang lapar, maka itulah aib negara. Jika ada yang mati sia-sia, itulah bukti gagalnya penguasa.

Karena itu, solusi bukan sekadar mengganti pejabat atau memperbaiki teknis birokrasi. Solusi adalah mengganti paradigma: dari negara yang menjadikan rakyat sebagai statistik, menjadi negara yang menempatkan rakyat sebagai amanah. Dari sistem kapitalisme yang dingin, menuju sistem Islam yang adil. (*)