Katakepri.com, Tanjungpinang – Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menjadi sorotan publik terkait penggunaan anggaran selama tiga tahun terakhir. BKAD disebut menerima alokasi anggaran ratusan miliar rupiah dari tahun 2022-2024.
Andi Cori Patahuddin, tokoh masyarakat Kepri, menyebutkan BKAD Kepri tiap tahunnya mendapat alokasi anggaran yang cukup besar. “Berdasarkan data yang kami peroleh, di tahun 2022, mendapat anggaran Rp 741,3 miliar, Rp 827,4 miliar di 2023, dan Rp 827,1 miliar di 2024. Anggaran tersebut terbagi ke dalam 92 pos anggaran kegiatan,” jelas Andi Cori dalam keterangannya kepada media, Senin (24/2/2025).
Menurutnya, besarnya alokasi anggaran di BKAD memunculkan dugaan indikasi pemborosan, mark up anggaran, bahkan potensi korupsi. Sebab sejauh ini publik belum mengetahui rincian penggunaan anggaran tersebut. Pertanyaan mendasar: kemana saja uang negara bernilai ratusan miliar rupiah yang dikumpulkan dari ‘keringat’ rakyat. “Ini yang sedang kami telusuri lebih dalam lagi,” ujarnya.
Ia menjelaskan, salah satu pos anggaran yang menarik perhatian adalah Pengelolaan Dana Bagi Hasil Provinsi. Anggarannya untuk tiga tahun berturut-turut cukup besar, yakni Rp 654,1 miliar di 2022, Rp 625,4 miliar di 2023, dan Rp 729,2 miliar di 2024. Dengan nilai nominal yang sangat menggiurkan ini, pihak pengelola anggaran perlu menjelaskan secara rinci untuk apa saja uang tesebut digunakan.
“Publik perlu tahu, apakah penggunaannya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dan bertujuan mendukung pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat Kepri,” ujarnya.
Dalam kajian Andi Cori, banyak ditemukan pemborosan dan dugaan mark up di beberapa pos anggaran, yang kegiatannya hanya seremonial berupa rapat-rapat koordinasi di internal atau kegiatan koordinasi dan konsultasi antar SKPD (satuan Perangkat Daerah), yang mencapai ratusan juta rupiah hingga miliar rupiah.
Misalnya, lanjut Andi Cori, pada pos anggaran kegiatan Penyelenggaraan Rapat Koordinasi dan Konsultasi SKPD, BKAD mengalokasikan anggaran dari tahun 2022-2024, sebesar Rp 3,6 miliar, Rp 2,8 miliar dan Rp 1,6 miliar. Padahal kegiatannya hanya seremonial semata yang tidak menyentuh langsung terhadap pembangunan secara nyata yang sesuai kepentingan masyarakat.
Hal serupa juga terjadi pada kegiatan Koordinasi Penyusunan KUA dan PPAS, yang anggarannya mencapai Rp 475 juta di tahun 2022, Rp 400 juta pada tahun 2023, dan Rp 500 juta tahun 2024. “Ada puluhan kegiatan sejenis yang mendapat anggaran besar,” ujarnya.
Pos anggaran lainnya yang menarik perhatian adalah Pengelolaan Dana Darurat dan Mendesak. Andi Cori menyebutkan, dalam tiga tahun ini (2022-2024)i tahun 2022, anggarannya melonjak tajam, dari Rp 1,5 miliar, menjadi Rp 10 miliar dan Rp 20 miliar.
Demikian dengan pos anggaran ‘Penyediaan Jasa Pelayanan Umum’ Pada tahun 2022, anggarannya hanya sebesar Rp 7 miliar, namun tiba-tiba membengkak menjadi Rp 48 miliar di tahun 2023, dan Rp 15 miliar pada 2024. “Lonjakan anggaran yang tidak wajar ini memperlihatkan adanya potensi manipulasi anggaran yang merugikan negara,” katanya.
Andi Cori juga menyoroti pos anggaran Penyediaan Gaji dan Tunjangan ASN, yang melonjak drastis. Pada tahun 2022, anggaranya hanya sebesar Rp 19,2 miliar, namun melambung tinggi di tahun 2023, bak roket yang melaju dengan kecepatan maksimal, yang membengkak menjadi Rp Rp 93,6 miliar. Di 2024, anggarannya juga besar sekitar Rp 26,2 miliar.
“Kenaikan anggaran ini menunjukkan indikasi penggunaan anggaran yang tidak efisien dan berpotensi diselewengkan,” kata Andi Cori.
Kemudian pos anggaran Pengelolaan Dana Darurat dan Mendesak. Di tahun 2022, anggaran untuk pos ini hanya sebesar Rp 1,5 miliar, namun pada tahun 2023 dan 2024 anggarannya melonjak menjadi masing-masing Rp 10 miliar dan Rp 20 miliar.
Anehnya, di pos anggaran Analisis Perencanaan dan Penyaluran Bantuan Keuangan, justru memperlihatkan penurunan yang sangat mencolok. Pada 2022, anggarannya cukup bongsor sebesar Rp 21,1 miliar, namun di 2023 menurun tajam menjadi Rp 5,2 miliar, dan semakin mengecil menjadi Rp 2,2 miliar di 2024.
Kemudian anggaran untuk Penyediaan Administrasi Pelaksanaan Tugas ASN juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, pada tahun 2022, anggarannya cukup besar Rp 7,6 miliar, lalu menurun menjadi hanya Rp 2,1 miliar pada tahun 2023 dan 2024.
“Hal ini memperlihatkan adanya ketidaksesuaian dan kurang konsistennya dalam perencanaan anggaran yang menimbulkan kecurigaan,” ujarnya.
Tak kalah mencolok adalah anggaran untuk kegiatan yang tidak esensial atau bahkan kegiatannya remeh temeh, tapi anggaran fantastis. Seperti untuk kegiatan Penyusunan Dokumen Perencanaan Perangkat Daerah dengan anggaran Rp 293 juta pada 2022, Rp 250 juta pada 2023, dan Rp 475 juta pada 2024, termasuk anggaran Pengamanan Barang Milik Daerah sebesar Rp 1,1 miliar pada 2022, Rp 800 juta pada 2023 dan 2024..
“Anggaran untuk kegiatan seperti ini dinilai terlalu besar dan berlebihan, mengingat urgensi dan dampaknya terhadap pembangunan daerah sangat terbatas,” katanya.
Pos-pos anggaran lainnya, seperti Pengelolaan dan Penyediaan Bahan Tanggapan Pemeriksaan, Penyediaan Bahan Logistik Kantor, dan Konsolidasi Laporan Keuangan SKPD, BLUD, dan LKPD, meskipun memiliki angka yang lebih kecil, tetap mengundang perhatian. Sebagai contoh, Pengelolaan dan Penyediaan Bahan Tanggapan Pemeriksaan mendapat anggaran sebesar ratusan juta rupiah.
Andi Cori mengatakan fenomena pemborosan anggaran dan fluktuasi yang tidak masuk akal ini memunculkan dugaan adanya mark-up anggaran yang sangat merugikan rakyat, serta kemungkinan adanya praktik korupsi yang terjadi dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
Ia menegaskan dalam banyak kasus, proses penyusunan anggaran seperti Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sering kali menyisakan celah untuk memasukkan program-program “siluman” yang tidak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sementara usulan dari bawah melalui Musrenbang justru tidak menjadi prioritas dan diabaikan.
“Korupsi bukan hanya terjadi dalam pelaksanaan anggaran, namun juga sudah dirancang dalam proses perencanaan anggaran yang tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara optimal. Ini merupakan penyalahgunaan kekuasaan dalam perencanaan keuangan daerah,” tegasnya.
Untuk itu, kata Andi Cori, masyarakat perlu tahu ke mana uang yang mereka bayarkan melalui pajak dan kontribusi lainnya digunakan. Masyarakat Kepri tanpa terkecuali berhak mempertanyakan ke mana aliran dana tersebut, apakah dana rakyat ini benar-benar digunakan untuk pembangunan daerah dan sesuai dengan kepentingan masyarakat, atau malah untuk kepentingan segelintir oknum yang memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Dengan indikasi penyalahgunaan anggaran ini, Andi Cori berencana melaporkan dugaan tindak pidana korupsi tersebut ke aparat penegak hukum. “Laporan kami akan segera disampaikan dalam beberapa hari ke depan, ke Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK, dengan menyerahkan data-data pendukung yang diperlukan. Kami berharap aparat penegak hukum segera menindaklanjuti laporan kami nantinya,’ katanya.
Andi Cori menegaskan ia sangat mendukung komitmen Presiden Prabowo untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang lebih efisien, bersih, dan akuntabel, termasuk penindakan terhadap para koruptor yang menghambat kemajuan negara. (*)