Keberkahan Ilmu

Katakepri.com, Jakarta – Setiap orang memiliki tujuan masing-masing dalam mempelajari ilmu. Sebagian ada yang belajar hanya untuk tujuan-tujuan pragmatis dalam jangka pendek.

Namun sebagian yang lain menjadikannya untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat. Terlepas dari itu, yang penting dalam menuntut ilmu adalah mendapatkan keberkahannya.

Kata berkah berasal dari bahasa Arab, barakah, yang maknanya menurut Imam al-Ghazali adalah ziyadah al-khair, yakni bertambahnya nilai kebaikan.

Ilmu yang berkah adalah ilmu yang memberikan nilai kemanfaatan dan kebaikan di dalamnya. Salah satu tandanya, ilmu tersebut diamalkan dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta mendatangkan kebaikan.

Oleh karena pentingnya keberkahan ilmu tersebut, Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ayyuha al-Walad, menasihatkan untuk para penuntut ilmu, “Meskipun engkau menuntut ilmu 100 tahun, dan mengumpulkan (menghafalkan) 1.000 kitab, engkau tidak akan bersiap sedia mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran (QS al-Najm: 39, al-Kahf: 110, dan 107-108, al-Taubah: 82, al-Furqan: 70).”

Keberkahan ilmu harus dimulai dengan niat yang lurus dan benar. Imam az-Zarnuji mengatakan, selayaknya seorang penuntut ilmu meniatkannya untuk mencari keridhaan Allah SWT, mencari kehidupan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab, kelanggengan Islam itu harus dengan ilmu, dan tidak sah kezuhudan dan ketakwaan yang didasari atas kebodohan.

Selain niat, keberkahan ilmu ditentukan oleh sikap penuntut ilmu dan orang tuanya terhadap ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut, yaitu guru.

Az-Zarnuji mengatakan, “Ketahuilah, seorang murid tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat ilmu yang bermanfaat kecuali ia mau mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan menghormati keagungan guru.”

Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan (ta’dzim) terhadap ustaz atau guru benar-benar telah dipraktikkan. Dan ini menjadi kunci kejayaan peradaban Islam.

Hal ini bisa kita lihat dari contoh yang telah ditunjukkan oleh orang-orang mulia. Misalnya, sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai bab al ‘ilmi atau pintu ilmu. Beliau mengatakan, “Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan, ataupun tetap menjadi hambanya.”

Demikian pula dengan orang tua yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi kepada para guru anak-anaknya. Pada masa keemasan Islam, para orang tua sangat antusias untuk menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru (ulama). Mereka memberikan dukungan penuh disertai kepercayaan dan penghormatan tinggi kepada guru anak-anak mereka.

As-Shalabi (2006: 117) menyebutkan dalam kitabnya, Fatih al-Qasthinthiniyah, al-Sulthan Muhammad al-Fatih, suatu ketika guru sang Sultan, Syekh Aq Syamsuddin, masuk ke istana. Saat itu, Muhammad al-Fatih sedang bermusyawarah dengan para pembesarnya. Melihat kedatangan gurunya, al-Fatih bangun dan menyambut gurunya dengan penuh hormat.

Kemudian, al-Fatih berkata kepada perdana menteri Utsmaniyah, Mahmud Pasya, “Perasaan hormatku kepada Syekh Aq Syamsuddin sangat mendalam. Apabila orang-orang lain berada di sisiku, tangan mereka akan bergetar. Sebaliknya, apabila aku melihatnya (Syekh Aq Syamsuddin), tanganku yang bergetar.”

Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu mestinya berusaha keras untuk mendapatkan keberkahan ilmu. Sebab, dengan keberkahan tersebut diharapkan dapat menjadikan ilmunya bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat. (Red)

Sumber : republika.co.id