Katakepri.com, Jakarta – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan bahwa Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan penerimaan gratifikasi.
Ghufron di Serang, Kamis, 5 September 2024, dikutip dari Antara, mengatakan bahwa pertimbangan penerimaan gratifikasi sifatnya adalah pelaporan dari penyelenggara negara seperti bupati dan gubernur.
Jika seorang penyelenggara negara menerima gratifikasi, yang bersangkutan wajib melaporkannya ke KPK untuk diperiksa dan ditentukan apakah gratifikasi tersebut dirampas atau diserahkan kembali pada penerima.
“Yang Anda tanyakan tadi yang bersangkutan (Kaesang) bukan penyelenggara negara sehingga tidak ada kewajiban hukum untuk melaporkan,” ujar Ghufron.
Kaesang bersama istrinya Erina Gudono mendapat banyak sorotan di media sosial belakangan ini, salah satunya mengenai dugaan keduanya menggunakan jet pribadi ketika melakukan perjalanan ke Amerika Serikat.
Ancaman hukuman gratifikasi
Seperti diketahui, gratifikasi merupakan semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (Pn/PN). Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.
Gratifikasi bentuknya dapat berupa pemberian, seperti uang, barang rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Penerima gratifikasi dapat dianggap melakukan tindakan pidana karena bisa mengancam independensi dan integritas.
Namun, tidak semua pemberi gratifikasi dapat diberikan sanksi, kecuali memenuhi unsur tindak pidana suap. Ketentuan ini diatur pada UU Tipikor Pasal 5 ayat (1) dengan ancaman hukuman penjara antara 1 sampai 5 tahun dan Pasal 13 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun.
Adapun ancaman hukuman penjara bagi penerima gratifikasi diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
- Pidana penjara seumur hidup;
- Pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun;
- Pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Kriteria gratifikasi yang dilarang
Gratifikasi pada dasarnya suap yang tertunda atau suap terselubung. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi. Kriteria gratifikasi yang dilarang, yaitu:
- Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan;
- Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut / tidak wajar.
Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. (Red)
Sumber : tempo.co