Fenomena Kotak Kosong dalam Gelaran Pilkada

Katakepri.com, Jakarta – Kotak kosong menjadi salah satu fenomena dalam ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Keberadaan kotak kosong ini seringkali dianggap sebagai keuntungan bagi pasangan calon tunggal, namun hal ini justru mencerminkan terjadinya kemunduran demokrasi 

Dinukil dari jurnal.ugm.ac.id, mekanisme kotak  kosong merupakan sebuah alternatif agar tetap ada kontestasi dalam pilkada yang hanya memiliki calon tunggal.

Mulanya, sistem ini dirancang untuk melahirkan sebuah kontestasi, namun pada implementasinya kotak kosong hanya menjadi objek yang semu, sebab kotak kosong bukan peserta pilkada. Penggunaan kotak kosong ini hanya dipersiapkan untuk tetap menjaga adanya kontestasi sebagai syarat demokrasi.

Secara kuantitas, pilkada dengan calon tunggal di Indonesia mengalami kenaikan di setiap periodenya. Pada 2015, dari 269 daerah yang melaksanakan pilkada, ada tiga daerah yang memiliki calon tunggal. Kemudian pada  2017, dari 101 daerah, ada sembilan daerah yang memiliki calon tunggal. 

Meningkatnya jumlah pasangan calon tunggal dalam pilkada di Indonesia menunjukkan kuatnya dominasi petahana dalam kontestasi lima tahunan. Calon petahana memiliki tingkat elektabilitas tinggi serta populer di mata masyarakat sehingga otomatis memiliki keunggulan yang bisa digunakan untuk memenangkan pilkada.  Selain itu, penyebab munculnya calon tunggal juga merupakan efek dari tidak berjalannya mekanisme rekrutmen dan kaderisasi di dalam internal partai, sehingga tidak diperoleh calon-calon alternatif selain petahana. 

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemilihan yang hanya diikuti satu pasang calon dapat dilaksanakan dengan beberapa syarat. Salah satunya adalah apabila setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar, maka dilanjutkan ke tahapan verifikasi sampai pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat untuk maju dalam pilkada.

KPU kemudian berhak menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan dengan satu paslon apabila mendapatkan suara lebih dari 50% suara sah. Jika paslon tunggal tidak bisa meraih suara sah lebih dari 50%, akan dilakukan pemilihan ulang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juga mengubah aturan persyaratan bagi calon perseorangan agar dapat berkontestasi dalam pilkada, yaitu untuk calon perseorangan yang mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.

Sebelumnya, aturan mengenai calon tunggal di Pilkada pertama kali diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon. Kemudian aturan ini diperbarui lagi dengan terbitnya Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon

Serta perubahan terakhir dengan diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon. Bagaimana dengan Pilkada 2024? (Red)

Sumber : tempo.co