Pengaturan Hukum Penyelesaian Sengketa Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk Mewujudkan Perlindungan dan Kepastian Hukum

Oleh : Gilang Ichsan Pratama,S.Sos.,M.H.

Pengertian Konsumen

       Perkataan konsumen bukanlah hal yang baru dalam masyarakat. Secara sederhana, konsumen adalah berarti pemakai yang berasal dari kata “consumer”. Dalam perkembangannya, pengertian ini berkembang yang akhirnya sampai kepada pengertian “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban yang dimaksudkan sebagai pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai. Konsumen sering dilawankan dengan produsen atau pelaku usaha atau pengusaha, yaitu pihak yang menghasilkan barang dan atau jasa untuk dikonsumsi oleh konsumen. 

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument atau konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

Pengertian konsumen dalam arti umum merupakan pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai, pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP). Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan mengatakan, “consumers by definition include us all”.

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat”, yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pembeli. Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade Practces Act 1974 yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai seorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati 40.000,- dollar Australia. Artinya, sejauh tak melewati jumlah uang di atas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melebihi 40.000,- dollar Australia, keperluannya harus khusus.
Dalam kepustakaan hukum konsumen, dibedakan antara konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk memproduksi barang dan/atau jasa lain; atau mendapatkan barang dan/atau jasa itu dengan tujuan dijual kembali, sedangkan konsumen akhir adalah pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, keluarga, atau rumah tangganya. Mereka pada dasarnya adalah orang alami (natuurlijk person) dan menggunakan produk konsumen tidak untuk diperdagangkan dan/atau tujuan komersial. Contoh dari konsumen antara adalah supllier, distributor atau pedagang.

Lebih lanjut bahwa Az. Nasution memberikan batasan-batasan tentang konsumen yaitu:
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Unsur mendapatkan barang atau jasa, tidak terbatas karena suatu hubungan hukum berdasarkan perjanjian (jual beli, sewa menyewa, beli-angsuran, dan sebagainya), tetapi juga karena suatu hubungan hukum atas dasar Undang-Undang. Dalam barang dan/atau jasa yang digunakan, tergantung pada konsumen mana yang dimaksudkan. Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Kalau dia distributor atau pedagang, berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen. Sedang bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa konsumen, yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah-rumah tangga masyarakat.

Secara otentik, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Penjelasannya mengemukakan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya, Pengertian dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo mengemukakan bahwa penggunaan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang menyatakan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat”, apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan, “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya.
Sebagai pemakai, dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri dan bukan untuk keluarga, bijstander atau makhluk hidup lainnya. Demikian pula penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli. Jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memperoleh”, maka secara hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk orang lain.

Berbeda halnya dengan Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Shidarta mengemukakan bahwa istilah “pemakai” dalam Pasal 1 angka (2) UUPK sudah tepat sekaligus menunjukkan, barang dan jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).

Sementara itu, pengertian konsumen sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut di atas, bahwa dalam praktiknya telah menimbulkan permasalahan hukum, terkaitnya golongan atau pengertian konsumen yang dapat mengajukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Menurut UUPK (Pasal 1 angka 2), pengertian konsumen hanya merujuk orang perorangan atau manusia alamiah (naturlijke persoon) sedangkan dalam praktik, konsumen tidak hanya orang perorangan melainkan termasuk badan usaha, baik badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha tak berbadan hukum. Jika ada badan usaha sebagai konsumen mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka gugatannya akan dinyatakan tak dapat diterima karena konsumen sebagai Penggugat tak memenuhi rumusan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUPK.
Rumusan lain tentang konsumen dapat ditemukan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang merumuskan konsumen sebagai setiap pemakai dan atau pengguna barang atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain.

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan bahwa rumusan pengertian perlindungan konsumen yang tersebut dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut diatas cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang menguntungkan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan konsumen. Secara Internasional, perhatian terhadap hak dan kepentingan konsumen telah merupakan fokus kajian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional melalui Sidang Umum PBB yang ke-160 tanggal 9 April 1985 yang tertuang dalam Resolusi PBB 39/248 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan beberapa kepentingan konsumen diantaranya perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya, termasuk tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

Secara Internasional, perhatian terhadap hak dan kepentingan konsumen telah merupakan fokus kajian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional melalui Sidang Umum PBB yang ke-160 tanggal 9 April 1985 yang tertuang dalam Resolusi PBB 39/248 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan beberapa kepentingan konsumen diantaranya perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya, termasuk tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.
Di Indonesia, upaya perlindungan konsumen telah dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973. Semula YLKI justru bertujuan untuk mempromosikan hasil produksi Indonesia, namun demikian berkembang ke arah perlindungan konsumen dalam bentuk pengawasan terhadap produk sehingga masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Melalui sejumlah kegiatan, YLKI gencar untuk melakukan dan memperjuangkan perlindungan konsumen berupa kegiatan advokasi konsumen seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan dan publikasi media konsumen.

Tuntutan dan keinginan untuk adanya aturan khusus untuk melindungi konsumen sudah sejak lama dilakukan dan setelah era reformasi, tuntutan dan keinginan itu baru berhasil, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 sekalipun efektif berlaku setahun kemudian pada tanggal 20 April 2000. Sidharta mengemukakan bahwa tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya terus menerus yang digalang oleh YLKI, andil terbesar yang “memaksa” kehadiran UUPK ini adalah juga karena cukup kuatnya tekanan dari dunia internasional. Setelah pemerintah RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar-standar hukum yang berlaku dan diterima luas oleh negara-negara anggota WTO. Salah satu diantaranya adalah perlunya eksistensi UUPK.

ASAS-ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN
Asas adalah sesuatu yang menjadi dasar atau pokok. Esensi dari pengertian asas yang dalam bahasa Inggris disebut “principle”, dalam bahasa Belanda disebut “beginsel” dan dalam bahasa Latin disebut “principium” adalah dasar, pokok tempat mengembalikan suatu pikiran. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, asas adalah :
Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat);
Dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi);
Hukum dasar.
Asas hukum sangat penting untuk menentukan isi daripada kaidah atau norma suatu hukum (Undang-Undang). Pemahaman tentang asas hukum dan norma hukum atau kaidah hukum dapat dijelaskan bahwa hukum bukanlah merupakan aturan yang bersifat konkrit sebagaimana halnya norma atau kaidah hukum yang menjadi isi dari setiap Undang-Undang, tetapi asas hukum harus memberikan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkrit dalam pembuatan Undang-Undang. Norma itu sendiri adalah suatu aturan. Aturan ini didasarkan pada suatu asas. Aturan diturunkan dari asas dalam suatu bentuk kalimat atau bahasa sedemikian rupa sehingga ia (aturan) mempunyai arti bagi manusia dalam melakukan tindakan-tindakannya. Norma adalah suatu rumusan untuk dipakai oleh manusia dalam tingkah lakunya. Norma ini dapat juga dinamakan aturan. Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternative penyelesaian sengketa sebagai berikut :
Asas Itikad Baik, yakni keinginan dari para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.
Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa konsumen.
Asas mengikat, yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati.
Asas kebebasan, berkontrak yakni para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak di atur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Hal ini berarti pula kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih.
Asas kerahasian, yakni penyelesaian atas suatu sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri pemeriksaan suatu sengketa.
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan kepada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya pada tataran praktik. Pasal 2 UUPK menetapkan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Penjelasannya mengemukakan sebagai berikut:
Asas manfaat, yaitu dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan, yaitu dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan, yaitu dimaksudkan untuk membagikan keseimbangan kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil atau sprituil. Penerapan asas keseimbangan dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen dilakukan melalui penetapan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak antara konsumen dan pelaku usaha sebagaimana layaknya suatu perjanjian timbal balik. Apa yang merupakan hak disatu pihak merupakan kewajiban di pihak lainnya dan sebaliknya. Khusus dalam perjanjian baku yang oleh UUPK dipergunakan istilah klausula baku, dimana kedudukan pelaku usaha adalah dominan berada di atas konsumen, namun untuk mewujudkan asas keseimbangan dalam pemberlakuan klausula baku sedemikian, pembentuk undang-undang melalui Pasal 18 UUPK telah memberikan batasan-batasan terhadap klausula baku jika pelaku usaha bermaksud mendistribusikan barang dan/atau jasa yang diproduksinya dengan mempergunakan klausula baku.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Perwujutan asas ini dapat dilihat dalam Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan hak yang utama dan yang pertama daripada konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak atas keamanan ini juga menjadi salah satu hak dasar yang diakui secara internasional sebagai hak konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety) selain hak lain yaitu hak untuk mendapatkan informasi (the right to be ionformed), hak untuk memilih (the right to choose) dan hak untuk didengar (the right to he head). (Red)