Katakepri.com, Jakarta – Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat jujur dan tak pernah ingkar janji.
Suatu hari si pemuda sangat membutuhkan uang untuk keperluannya. Ia pun meminjam sejumlah dana kepada seseorang yang ia kenal. Namun, saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang piutang tersebut.
“Datangkan ke sini para saksi yang akan mempersaksikan,” ujar si peminjam uang.
“Cukuplah Allah sebagai saksi,” kata si pemuda.
“Kalau begitu, datangkan kepadaku penjamin,” pinta si peminjam lagi.
Namun, si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi saksi apalagi penjamin. Ia hanya bisa berucap lagi, “Cukuplah Allah sebagai penjamin,” kata si pemuda.
Baginya, menyebut asma Allah dalam ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika dilanggar, ia amat takut Allah murka. Tekad si pemuda pun akhirnya dipercaya si peminjam.
“Kau benar,” katanya. Dana sebesar seribu dinar pun berpindah tangan. Sebelum berpisah, keduanya pun menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.
Pergilah si pemuda mengarungi samudera untuk memenuhi kebutuhannya dengan uang pinjaman tersebut. Saat jatuh masa tempo pengembalian, ia pun bermaksud kembali ke pulau tempat tinggal si peminjam.
Namun apa daya, tak ada layanan perahu yang menuju tempat si peminjam. Padahal, di hari biasa perahu selalu tersedia.
Entah mengapa pada hari itu si pemuda tak mendapati satu pun perahu meski telah mencarinya dengan keras. Cemaslah hati remaja ini. Sebab, dirinya tak mau melanggar kesepakatan dan janji yang telah disepakati perihal utangnya.
Si pemuda tak mau berputus asa, apalagi berniat mangkir. Ia telah berjanji akan mengganti uang seribu dinar tersebut pada hari itu juga. Maka ia pun berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi janjinya.
Dilihatnya sepotong kayu. Usai mengambil benda itu, kemudian ia melubanginya. Uang seribu dinar itu lantas dimasukkannya pada lubang kayu tersebut. Tak lupa sepucuk surat kepada sang piutang juga diikutsertakan.
Ia menutup lubang kemudian melarungnya ke laut seraya berdoa, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar. Lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, ‘Allah cukup sebagai penjamin’. Ia pun ridha dengan-Mu.
Ia juga meminta saksi kepadaku, aku pun mengatakan ‘Cukup Allah sebagai saksi’. Ia pun ridha kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu.”
Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus laut. Namun, meski telah memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si pemuda berhenti berusaha. Ia terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri seberang, tempat si peminjam tinggal.
Tunainya janji
Sementara itu, di negeri seberang, si piutang terus menengok dermaga menunggu perahu si pemuda. Namun, lama nian tak ada satu perahu pun yang mengantarkan uangnya kembali. Ia pun menunggu di tepi laut berharap si pemuda menepati janjinya.
Cukup lama menunggu, ia pun bosan. Namun, tiba-tiba ia melihat sebongkah kayu yang hanyut. Bermaksud digunakan sebagai kayu bakar di rumahnya, ia pun memungutnya dan membawanya pulang.
Terkejut, saat membelah kayu tersebut, ia mendapati uang seribu dinar dan sepucuk surat. Membaca surat tersebut, ia pun tersenyum riang.
Keesokan harinya, si pemuda muncul dengan wajah penuh cemas dan rasa bersalah. Turun dari perahu, ia bergegas menuju rumah si peminjam utang.
“Demi Allah, aku terus berusaha mencari perahu untuk menemuimu dan mengembalikan uangmu. Tapi, aku tak memperoleh perahu hingga perahu sekarang ini aku datang dengannya,” ujar si pemuda menjelaskan uzurnya.
Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan pemuda menepati janjinya. Ia pun berkata, “Apakah kau mengirim sesuatu kepadaku?” tanyanya.
Namun, si pemuda tak sedikit pun menyangka bahwa kayu kirimannya sampai tujuan meski tanpa alamat, apalagi jasa kurir.
“Aku katakan kepadamu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang kubawa sekarang ini,” ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan kepada si peminjam utang.
Wajah sang piutang pun merekah gembira. Ia senang mendapati pemuda yang begitu jujur dan menepati janji. Ia pun harus berkata jujur bahwa utangnya si pemuda telah lunas melalui kayu yang dikirimkannya sesuai tenggat waktu peminjaman.
“Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di dalam kayu. Maka, pergilah dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini,” ujar si pemberi utang.
Kisah ini termuat dalam hadis Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dan Nasa’i. Memang, dalam teks hadis tak dikabarkan jelas siapa nama pemuda tersebut dan latar lokasi tempat tinggal kedua belah pihak: yang berutang dan si pemegang piutang. Namun, kisah ini dipastikan kebenarannya, sebab kedudukan hadis yang menyebutkannya adalah sahih.
Dari kisah tersebut, terdapat hikmah yang dapat menjadi pelajaran bagi Muslimin. Membulatkan tekad sangat dibutuhkan. Barulah kemudian, lakukan tawakal kepada Allah. (Red)
Sumber : republika.co.id