Sikap Nabi Muhammad SAW terhadap Penyimpangan Ibadah

Katakepri.com, Jakarta – Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Miftahul Huda menyampaikan penjelasan tentang sikap Nabi Muhammad SAW terhadap penyimpangan ibadah.

Kiai Miftah menuturkan, Nabi Muhammad SAW adalah syari’ yakni yang menetapkan syariat dalam agama Islam selain Allah SWT sendiri. Artinya setiap ada kesalahan maupun penyimpangan dalam urusan agama maka beliau langsung meluruskannya.

Sebab, terang Kiai Miftah, jika suatu kesalahan atau penyimpangan yang dilihat atau diketahui Nabi SAW itu didiamkan dan tidak diluruskan, maka itu menjadi dalil kebolehannya. Karenanya, ada satu kaidah dalam Ushul Fiqih yang menyatakan “Ta’khir al-bayan ‘an wakti al-hajah laa yajuuzu”. Artinya ialah mengakhirkan penjelasan saat waktu dibutuhkan adalah tidak boleh.

Maksud dari kaidah tersebut, yaitu jika diam dan tidak meluruskan suatu kesalahan dalam ibadah, maka artinya membiarkan saudara sesama Muslim melakukan ibadah dengan cara yang salah. “Dan ini adalah sikap yang tidak benar,” kata dia.

Namun, meluruskan kesalahan tetap harus dilakukan dengan bijaksana dan lemah lembut agar yang ditegur dapat menerima dengan baik. Cara meluruskan kesalahan tidak boleh dengan sembarangan apalagi dengan kekerasan, tetapi harus dilakukan dengan terukur.

“Ini pernah diajarkan Nabi SAW saat menghadapi seorang Badui yang kencing di salah satu bagian masjid Nabawi. Seketika para sahabat langsung mengerubungi dan ingin menghajarnya. Tetapi Nabi SAW mencegah dan meminta sahabat untuk membiarkan Badui tersebut menyelesaikan hajatnya (kencingnya). Ketika sudah selesai Nabi SAW meminta sahabat untuk mengambil air guna mensucikan tempat yang najis tersebut,” jelasnya.

Adapun kisah tentang sikap Nabi Muhammad SAW terhadap penyimpangan akidah ataupun ibadah, yaitu sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Hadits ini mengisahkan bahwa ada seorang sahabat yang bernama Khallad bin Rafi’ yang shalat tapi tidak sempurna dalam tumakninah saat ruku’, iktidal, dan sujud. Selesai shalat, Nabi SAW menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya kembali.

“Itu terjadi sampai tiga kali dan sesudah itu Nabi SAW menjelaskan bahwa saat menunaikan shalat harus disertai thumakninah (diam sesaat) ketika ruku’, iktidal, dan  sujud,” terangnya.

Kiai Miftah mengatakan, hadits tersebut selain mengajarkan tentang rukun shalat, juga memberi isyarat bahwa setiap ada kesalahan atau penyimpangan dalam ibadah harus segera diluruskan tanpa menunggu waktu besok, karena jika tidak dilakukan maka ibadahnya tidak sah.

Kisah lain yakni ketika beberapa sahabat bepergian dari Makkah ke Madinah bersama Nabi SAW. Di tengah perjalanan mereka terburu-buru saat wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Sehingga bagian belakang dari tungkai kaki tidak teraliri air. Maka Nabi SAW pun segera menegur mereka dengan suara tinggi, “Celakalah bagi orang yang tidak sempurna dalam berwudhu”. (Red)

Sumber : republika.co.id