Katakepri.com, Jakarta – Kurang dari sebulan, Ramadhan akan kembali menyapa kita. Dalam doa-doanya, para imam pun sudah merapal dengan penuh kerinduan. “Allahumma baariklana fii rajaba wa sya’bana wa balighna Ramadhan,” yang bermakna, “Ya Allah, berkahilah umur kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”
Doa itu pun kian dekat saat kita sampai pada bulan Sya’ban. Bulan kedelapan Hijriyah yang berada di pertengahan, di antara Rajab dan Ramadhan.
Syekh Muhammad Shalih al-Munajid dalam “Faidah Seputar Bulan Sya’ban” menjelaskan, bulan itu disebut Sya’ban karena orang-orang Arab terdahulu berpencar dan berpisah pada bulan ini dalam rangka mencari air. Istilahnya yakni yatasya’abuna. Sebagian lagi berpendapat, Sya’ban berasal dari kata sya’bu, yakni yang muncul di antara bulan Rajab dan Ramadhan.
Meski berbeda level dengan Ramadhan, Sya’ban merupakan bulan yang penuh dengan keberkahan. Bulan ini kerap dilalaikan orang sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW saat menjawab sahabat yang bertanya mengapa beliau suka berpuasa pada bulan tersebut.
“Karena ini bulan yang banyak dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan. Padahal, pada bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam dan saya senang apabila saat amalku terangkat saya sedang berpuasa.” (HR an-Nasa’i).
Banyak manusia melalaikan Sya’ban karena bulan ini didahului oleh bulan al-Haram (bulan suci) Rajab. Sebab, berpuasa pada bulan-bulan haram secara umum dianjurkan, tapi tanpa meyakini keutamaan khusus terhadap Rajab. Kehadiran Ramadhan yang penuh berkah pun membuat banyak manusia teralihkan dari Sya’ban. Padahal, Rasulullah kerap menghidupkan bulan ini dengan berpuasa.
Syekh Muhammad Shalih al-Munajid pun menganalogikan Ramadhan dan Sya’ban layaknya shalat fardhu dan shalat sunah rawatib. Shalat sunah yang diketahui memiliki keutamaan menyatu dengan ibadah fardhu.
Dengan demikian, menurut Syekh, puasa yang mengiringi Ramadhan, baik sebelum maupun setelahnya, lebih utama daripada puasa yang waktunya berjauhan dari Ramadhan.
Sang Syekh menjelaskan, terdapat isyarat halus di balik hadis Rasulullah SAW: “Karena ini bulan yang banyak dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan.”
Menurut dia, hal itu bisa dimaknai bahwa Nabi mengisyaratkan agar manusia memanfaatkan waktu-waktu lalainya dengan amal ketaatan. Hal itu termasuk perkara yang dicintai dan diridhai Allah SWT, seperti halnya keutamaan shalat malam pada sepertiga malam terakhir.
Faedah beramal pada waktu lalai yakni seorang Muslim lebih bisa menyembunyikan amalannya dari mata manusia. Menurut Syekh, menyembunyikan amal-amal ketaatan yang bersifat nafilah (sunah) lebih dekat pada keikhlasan. Seorang Muslim akan sulit selamat dari ria jika masih menampakkan amal salehnya.
Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amalan kepada Allah tahunan, sebagaimana di dalam hadis: “Pada bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam, dan aku senang apabila saat amalku terangkat, aku sedang berpuasa.”
Syekh pun menjelaskan bahwa ada tiga momentum ketika amalan diangkat ke langit. Pertama, amalan harian. “Amalan malam terangkat kepada Allah sebelum amalan siang dan amalan siang sebelum amalan malam.” (HR Muslim).
Dalam hal ini, malaikat naik dengan membawa amalan pagi yang terakhir pada awal waktu siang dan naik membawa amalan siang setelah selesainya pada waktu awal malam.
Berikutnya yakni terangkatnya amalan pekanan. Amalan terangkat setiap pekan sebanyak dua kali, yaitu setiap Senin dan Kamis, sebagaimana dalam hadis: “Amalan manusia terangkat setiap pekannya sebanyak dua kali, yaitu pada hari Senin dan kamis. Setiap hamba beriman akan diampuni dosanya kecuali seorang hamba yang dia memiliki permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan kepadanya: ‘Tinggalkan kedua orang ini sampai mereka berdua berdamai’.” (HR Muslim).
Ketiga, terangkatnya amalan tahunan. Semua amalan dalam setahun terangkat seluruhnya dalam setahun pada bulan Sya’ban, sebagaimana ditunjukkan sabda Nabi: “Pada bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam” (Latha’iful Ma’arif).
Kemudian, barulah terangkat seluruh amalan seumur hidup setelah mati. Apabila ajal datang menjemput, maka terangkatlah amalan seumur hidupnya seluruhnya di hadapan Allah dan dihamparkan lembaran amalannya.
Nabi SAW senang saat amalan beliau terangkat bersamaan ketika beliau dalam keadaan berpuasa. Pada momen tersebut, amalan lebih diterima dan derajat pun diangkat. Aisyah RA bahkan bersaksi, dia tak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa di suatu bulan seperti Ramadhan dan lebih banyak berpuasa seperti pada Sya’ban.
Aisyah juga bersaksi, Rasulullah pernah berpuasa dua bulan berturut-turut selama kedua bulan tersebut. Untuk itu, sang Syekh pun berpesan agar hendaknya kaum Muslimin mencontoh Rasulullah dan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
Wallahu a’lam. (Red)
Sumber : republika.co.id