Berikut Ini Beberapa Poin Permasalahan RKUHP yang Ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil

Katakepri.com, Jakarta – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana menjelaskan secara rinci poin-poin masalah dari draft terbaru RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) versi tanggal 30 November 2022 yang akan disahkan DPR dan Pemerintah pada Selasa besok, 6 Desember 2022. LBH Jakarta dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI pada hari ini, Senin, 5 Desember 2022.

Arif menyatakan terdapat beberapa pasal karet yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil. Di antaranya, masalah penghinaan pemerintah dan lembaga negara (pasal 240), masalah pengaturan pidana denda (pasal 81), masalah pidana mati (pasal 100), masalah larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan (pasal 256), serta masalah pasal subversif yang kembali muncul (pasal 188).

Pasal 240 soal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara

Dalam pasal 240, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara dilebur menjadi satu pasal dan menjadi delik aduan secara terbatas. yaitu untuk penghinaan yang tidak mengakibatkan kerusuhan.

Menurut Arif, pasal tersebut tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi, tidak perlu dipidana perbuatan “penghinaan” karena akan selalu sulit dibedakan dengan kritik.

“Sedari awal kami menyuarakan untuk penghapusan pasal ini, jika yang dilindungi adalah mencegah kerusuhan, pasal-pasal lain tetap dapat digunakan,” ujar Arif ketika dihubungi oleh Tempo.

Menurutnya, pasal tersebut harus dihapuskan karena pemerintah dan lembaga negara adalah objek kritik, yang tidak dapat dilindungi dengan pasal pembatasan. Apalagi ini untuk institusi yang tak memiliki reputasi secara personal.

“Pasal penghinaan hanya untuk melindungi orang bukan institusi,” katanya.

Pasal 81 soal pengaturan pidana denda

Koalisi masyarakat sipil juga mempermasalahkan Pasal 81 RKUHP tentang masalah pengaturan pidana denda. Dalam pasal terssebut diatur jika pidana denda tidak dibayarkan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi maka sisa denda dapat diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial.

Poin permasalahan dalam pasal tersebut, menurut Arif adalah pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan. Karena menurutnya, hal tersebut akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin, pun jika tidak cukup, masih harus mengganti dengan pidana penjara, dan pidana lainnya.

“Jika ingin mengefektifkan pidana denda, maka yang harus dilakukan adalah mengatur denda yang proporsional, bukan memberlakukan penyitaan aset,” kata dia.

Koalisi masyarakat sipil juga mempermasalahkan pasal 100 tentang masalah pidana mati. Menurut Arif, dalam rapat pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR pada 24 November 2022 lalu, disepakati bahwa masa percobaan 10 tahun sebagai penundaan eksekusi pidana mati harus diberikan secara otomatis dan pada seluruh terpidana tanpa terkecuali.

Dengan demikian, tidak perlu ada lagi pengaturan tentang hal-hal yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan masa percobaan 10 tahun tersebut, karena harus diberikan secara otomatis.

Namun, kata Arif, dalam Pasal 100 ayat (1) poin a dan b masih dimuat komponen pertimbangan hakim tersebut.

Koalisi masyarakat sipil pun menilai sebaiknya RKUHP tak lagi memuat hukuman pidana mati. Alasannya, hukuman ini tidak lagi sesuai untuk negara demokratis seperti Indonesia.

https://8d1bf87c0c0164fe12e25c2967c52efc.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-40/html/container.html

“Sedari awal pidana mati harus dihapuskan karena tidak lagi sesuai dengan negara demokratis. Pun juga soal masa percobaan yang seharusnya diberikan secara otomatis harus dijamin, tidak hanya jargon,” katanya mengungkapkan.

Pasal 256 soal larangan unjuk rasa

Tidak hanya itu, dalam pasal 256 tentang larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya pelayanan publik, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.10 juta.

Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa pemberitahuan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang. Pengaturan ini sudah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 soal Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Bahwa soal unjuk rasa hanya dengan pemberitahuan.

Menanggapi pasal ini, Arif menilai membawa Indonesia lebih buruk dari jaman kolonial. Alasannya, hukuman dalam pasal ini lebih tinggi dari hukuman pada pasal 510 KUHP yang berlaku saat ini.

“Pasal ini jauh lebih kolonial dari hukum buatan kolonial, asal pasal ini dari Pasal 510 KUHP yang ancaman pidananya hanya pidana penjara 2 minggu, sedangkan dalam Pasal 256 RKUHP menjadi 6 bulan pidana penjara.”

Permasalahan yang terakhir adalah pasal 188. Dalam rapat pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR pada 24 November 2022 lalu, tidak ada sama sekali pembahasan mengenai perubahan Pasal 188 tentang larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Namun, katanya, dalam rapat tersebut secara tiba-tiba diubah rumusan pasal dengan menambahkan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.

“Pasal ini sangat bermasalah,” katanya.

Menurutnya, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, sehingga mempertanyakan siapa yang lantas berwenang menentukan suatu paham yang bertentangan dengan Pancasila.

“Pasal ini bisa menghidupkan konsep pidana subversif seperti di era orde baru,” ujarnya.

LBH Jakarta dan sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Greenpeace, Trend Asia, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR untuk menolak pengesahan RKUHP hari ini. Mereka pun menyatakan akan kembali menggelar demo dengan masa yang lebih besar pada Selasa besok. (Red)

Sumber : tempo.co