Katakepri.com, Jakarta – Walau tergolong produk hukum yang baru di Indonesia, restorative justice atau keadilan restoratif hanya bisa diterapkan dalam perkara pidana ringan. Adapun itu terkait perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak, dan narkotika.
Syarat restorative justice
Mengutip dari publikasi Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan (2019), apabila syarat-syarat telah terpenuhi, maka kategori perkara bisa diajukan permohonan perdamaian kepada atasan penyidik kepolisian.
Polri akan membuat berita acara pemeriksaan atau BAP tambahan kepada para pihak yang terlibat. Dalam BAP, semua pihak mencabut semua keterangannya. Pencabutan semua keterangan, Polri akan melakukan pemeriksaan secara konfrontasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam perkara. Penanganan terhadap perkara telah dihentikan dan penyelesaian restorative justice bisa dilakukan.
Restorative justice muncul sebagai produk hukum peralihan dari positivisme ke progresif. Meskipun secara umum hanya berisi pemulihan kembali hak korban dan keseimbangan perlindungan hukum bagi pelaku. Tapi, restorative justice memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu dalam penerapannya.
Menurut Pasal 1 angka 27 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana menyatakan, keadilan restoratif harus melibatkan pelaku, korban dan keluarganya juga pihak terkait. Hal itu bertujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.
Merujuk Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Adapun restorative justice, penyelesaian perkara tindak pidana melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait. Itu untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali keadaan semula.
Ada berapa syarat dalam penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice. Syarat diatur dalam Pasal 12 huruf A dan B Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana.
1. Tindak pidana yang diselesaikan yang bersifat ringan atau delik aduan baik bersifat absolut atau relatif.
2. Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara pelaku dan korban untuk berdamai. Akibat dari permasalahan itu tidak menimbulkan dampak yang luas atau negatif terhadap kehidupan masyarakat.
3. Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi mempertemukan pihak yang berperkara dan melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat.
4. Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga kekerabatan. Bukan perbuatan yang berulang atau residivis.
5. Apabila perbuatan diawali dengan perjanjian atau perikatan, mengarah ke perdata.
6. Pihak korban harus mencabut laporan atau pengaduan.
7. Apabila terjadi ketakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan, maka penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku.
8. Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan maka harus dilaksanakan proses sesuai peraturan atau hukum yang berlaku. (Red)
Sumber : tempo.co