Katakepri.com, Jakarta – Setiap Muslim lelaki yang sudah baligh punya kewajiban untuk menunaikan ibadah sholat Jumat. Sholat dua rakaat dengan khutbah ini merupakan sarana seorang Muslim lelaki untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Khatib yang menyampaikan khutbah kerap mengajak kita untuk terus bertakwa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi laranan-Nya.
Keutamaan sholat Jumat tertera jelas di dalam Alquran. Allah SWT menjelaskan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan sholat pada hari Jumat, bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al- Jumuah ayat 9).
Meski demikian, muncul pertanyaan bagaimana kewajiban sholat Jumat orang yang sedang dalam perjalanan ke luar negeri atau luar kota dalam waktu tertentu. Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menukil dalam satu hadis riwayat Imam Bukhari yang berasal dari Ibnu Abbas.
“Sesungguhnya sholat Jumat pertama yang dilakukan sesudah sholat Jumat di masjid Rasulullah SAW ialah sholat Jumat di masjid milik Kabilah Abdul Qais di Desa Juwatsa yang termasuk kawasan Bahrain.”
Syekh Utsaimin menjelaskan, maksud dari hadis ini ialah tidak ada sholat Jumat di gurun pasir. Orang-orang badui yang tinggal di kemah dan selain mereka, tidak menyelenggarakan sholat Jumat. Sebab, mereka tidak tinggal di kampung atau di kota. Menurut Syekh Utsaimin, orang-orang badui zaman dahulu tinggal di sekitar Madinah pada masa Nabi SAW tidak menyelenggarakan sholat Jumat.
Nabi SAW pun tidak memerintahkan mereka untuk sholat Jumat. Terutama lagi, bagi seorang musafir yang tengah kesulitan dalam perjalanannya. Memang ada sebagian ulama yang mengatakan, “Sholat Jumat disyariatkan ketika Shafar.”
Akan tetapi, Syekh Utsaimin menegaskan, Nabi SAW saat menyelenggarakan haji wada’ yang bertepatan dengan hari Jumat tidak melakukan sholat Jumat. Ketika itu, Rasulullah SAW melaksanakan wukuf di Arafah bersama sebagian besar kaum Muslimin. Dengan demikian, Syekh Utsaimin mengungkapkan, sunah Nabi SAW memperjelas jika tidak ada sholat Jumat kecuali di kampung dan di kota.
Ibnu Rusyd, dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan, ada ulama lain yang berpendapat wajib bagi orang yang hanya menempuh perjalanan sejauh tiga mil. Ada juga yang berpendapat wajib bagi orang untuk melaksanakan sholat Jumat ketika mendengar seruan azan Jumat dari jarak tiga mil. Dua pendapat ini dikutip dari Imam Malik. Masalah ini dikemukakan dalam pembahasan tentang syarat-syarat wajib sholat.
Imam Yahya ibn Abil Khair ibn Salim al-‘Umraniy di dalam Al-Bayan Fi Madzhabil Imam Asy-Syafi’i menjelaskan, apabila musafir bermaksud tinggal sebagai mukimin di suatu perkampungan selama empat hari selain hari ketika datang dan pergi, beberapa keringanan ibadah dalam perjalanan. Ini pendapat Utsman ibn Affan, Sa’id ibn al-Musay yab, Malik, dan Abu Tsaur.
Sementara itu, Imam Ali ibn Muhammad Al-Baghdadi (Al-Mawardi) di dalam Al-Hawi al- Kabir menjelaskan, ada mufasir yang tinggal sementara di satu daerah dalam jangka waktu tertentu untuk berdagang atau menuntut ilmu. Mufasir itu masih terkena wajib melaksanakan sholat Jumat, tetapi tidak sah menyelenggarakan sholat Jumat.
Meski demikian, Al-Mawardi menjelaskan, terjadi perbedaan pendapat apakah para mukimin tersebut bisa menyelenggarakan sendiri sholat Jumat tersebut atau tidak. Abu Ali ibn Abu Hurairah mengatakan, sah bagi mereka menyelenggarakan sendiri sholat Jumat karena orang yang wajib sholat Jumat, tentu mereka sah menyelenggarakannya sendiri, sama dengan mustauthin (orang yang tinggal menetap sepanjang waktu).
Sementara itu, Abu Ishaq al- Marwaziy berpendapat, mereka wajib melaksanakan sholat Jumat, tetapi tidak sah menyelenggarakannya sendiri. Hal ini karena ketika Nabi SAW melaksanakan ibadah haji wada’, tinggal untuk wukuf pada hari Arafah bertepatan hari Jumat, beliau tidak menyelenggarakan sholat Jumat dan tidak menyuruh warga Makkah untuk menyelenggarakannya.
Dalam fatwa bernomor 20 tahun 2017, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengategorikan beberapa golongan yang hendak menempuh perjalanan. Pertama adalah mustauthin. Dia adalah orang yang tinggal menetap dengan maksud untuk sepanjang waktu di suatu daerah. Mukimin adalah orang yang tinggal di satu daerah dengan maksud untuk waktu tertentu. Sementara, musafir merupakan orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat dan menjadi sebab adanya keringanan dalam beberapa kewajiban tertentu.
Menurut MUI, musafir memiliki keringangan untuk tidak melaksanakan sholat Jumat, tetapi berkewajiban untuk melaksana kan sholat Zhuhur. Jika musafir ikut soalat Jumat bersama dengan ahlul Jumat, sholatnya adalah sah. MUI berpendapat, penyelenggaraan sholat Jumat yang hanya diikuti oleh musafir tidak sah karena mereka tidak terkena kewajiban.
MUI pun memberi catatan jika musafir yang telah bermaksud untuk menyelesaikan perjalanannya dengan niat sebagai mukimin, wajib melaksanakan sholat Jumat dan tidak ada rukhshah safar (keringanan karena perjalanan) untuk meninggalkannya.
Mukimin wajib melaksanakan sholat jumat di daerah tempat ia tinggal atau di daerah sekitar yang terdengar azan Jumat. Apabila di daerah tempat tinggal mukimin dan sekitarnya tidak ada penyelenggaraan sholat Jumat, sedangkan jumlah mukmin terpenuhi syarat jumlah minimal pendirian sholat Jumat, mereka wajib dan sah menyelenggarakan sendiri sholat Jumat.
Pendapat ini merupakan suatu pendapat di antara dua pendapat di kalangan fuqaha’. Sedangkan, pendapat lainnya menyatakan, tidak wajib dan tidak sah menyelenggarakan sholat Jumat sendiri, tetapi wajib melaksanakan sholat Zhuhur yang dipandang utama dengan berjamaah. Wallahualam. (Red)
Sumber : republika.co.id