AS Tuding Serangan Cyber dari China Sangat Gencar

Katakepri.com, Jakarta – Banyaknya serangan siber yang diterima badan pemerintahan dan perusahaan di Amerika Serikat memang tak diragukan lagi. Namun dari negara mana serangan siber tersebut paling banyak berasal?

Menurut FBI, badan investigasi federal AS, serangan siber dari China jauh lebih banyak dibanding serangan siber dari berbagai negara lain, bahkan jika serangan siber dari negara non China itu digabung.

Dalam pidatonya yang berjudul Countering Threats Posed by Chinese Goverment Inside the US, Direktur FBI Christopher Wray menyebut pihaknya saat ini tengah menginvestigasi lebih dari 2.000 kasus serangan siber, yang menurutnya berasal dari pemerintah China.

Kebanyakan serangan siber tersebut dilakukan untuk mencuri informasi dan teknologi milik Amerika Serikat, demikian dikutip detikINET dari Techspot, Senin (7/2/2022).

“Pemerintah China mencuri informasi dengan jumlah yang sangat banyak dan menyebabkan kerusakan yang sangat mendalam di berbagai jenis industri, dan seperti yang anda dengar, kami terus membuka kasus baru untuk melawan operasi intelijen mereka, setiap 12 jam sekali,” ujar Wray.

Wray kemudian mencontohkan kasus peretasan Microsoft Exchange, yang berdampak pada 10 ribu perusahaan AS, untuk menunjukkan dampak dari aksi peretasan oleh hacker China.

Kemudian ada juga peretasan terhadap perusahaan turbin angin di Massachusetts bernama American Superconductor, di mana hacker mencuri source code dari perusahaan tersebut.

Dampaknya adalah ada 600 orang yang kehilangan pekerjaan, karena Sinovel, perusahaan yang ada di balik peretasan tersebut, kemudian menggunakan source code curian itu untuk menjual turbin angin di AS.

Wray menuding China mencuri teknologi penting untuk menyukseskan rencana-rencana mereka, seperti kampanye ‘Made in China 2025’.

Padahal, pada 2015, Presiden AS saat itu, Barack Obama dan Presiden China Xi Jinping menandatangani perjanjian damai, di mana kedua negara itu tak akan melakukan aksi pencurian siber terhadap masing-masing negara.

Namun China dituding mengindahkan perjanjian tersebut hanya sebulan setelah penandatanganannya, dan Wray menyebut jumlah serangannya terus bertambah sampai saat ini.

“Padahal ada banyak hal baik yang kami bisa lakukan bersama Pemerintah China: membongkar sindikat penjahat siber, menyetop pencucian uang, mengurangi kematian akibat overdosis opioid. Namun di FBI, kami berfokus pada realitas pemerintahan China saat ini,” tutup Wray. (Red)