Katakepri.com, Jakarta – Sapi dan kuda termasuk golongan hewan yang halal atau boleh dimakan dagingnya sebagaimana dikutip dari situs Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi, apakah kotorannya juga termasuk najis?
Sebelum itu, perlu diketahui, kehalalan daging kuda menurut MUI ditunjukkan dengan tidak adanya dalil yang melarangnya dengan sharih (jelas dan tegas). Justru ada salah satu hadits yang secara gamblang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan umatnya untuk mengonsumsi daging kuda.
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِى لُحُومِ الْخَيْلِ
Artinya: “Pada penaklukan Khoibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai jinak, dan beliau membolehkan daging kuda.” (HR. Bukhari 3982 dan Muslim 1941).
Pada dasarnya, baik pengolahan daging sapi maupun kuda, tetap harus berdasarkan syarat-syarat yang Mu’tabar dan ketentuan Komisi Fatwa MUI. Salah satunya, penyembelihan secara syar’i.
Sebagai hewan yang boleh dikonsumsi dagingnya, lalu apa benar kotoran sapi dan kuda tidak termasuk najis?
Terkait hal ini, ada perbedaan pendapat di antara kalangan 4 imam besar mazhab. Mazhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan semua kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah najis. Sebaliknya, mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci.
Lebih lengkapnya, berikut penjelasan dari 4 imam besar mazhab terkait kotoran hewan yang dapat dimakan dagingnya sebagaimana dikutip dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 1 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi.
Hukum Kotoran Sapi dan Kuda Menurut Imam Besar Mazhab
Mazhab Syafi’i
Semua kotoran hewan yang dimakan dagingnya, seperti sapi dan kuda termasuk najis, tanpa ada perincian.
Mazhab Hanafi
Kotoran hewan yang dagingnya dimakan adalah najis ringan (mukhaffafah). Namun, berbeda dengan kotoran burung yang disebut suci, seperti burung merpati dan pipit.
Mazhab Maliki
Kotoran hewan yang dagingnya halal dimakan adalah suci, seperti sapi dan kambing. Namun, bila seseorang diragukan dalam memiliki kebiasaan memakan makanan najis, maka kotoran hewan tersebut mejadi najis.
Mazhab Hambali
Kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan adalah suci. Sekalipun hewan tersebut makan makanan najis, selama itu tidak lebih banyak daripada makanan pokoknya. Kecuali, hewan yang makanan utamanya adalah najis, maka kotorannya juga hukumnya najis.
Salah satu hadits yang menjadi dasar bagi beberapa mazhab berpendapat bahwa kotoran sapi dan kuda tidak termasuk najis, dapat disimak dari hadits berikut,
كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ حَيْثُ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَيُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ
Artinya: “Rasulullah senang sholat di mana pun waktu shalat tiba. Dan Rasulullah pernah melaksanakan shalat di kandang kambing.” (HR Bukhari).
Adapun kepercayaan di Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat menyebut, masyarakat muslim di Indonesia adalah penganut mayoritas mazhab Syafi’i. Hal ini disampaikannya dalam siaran YouTube bertajuk ‘Kotoran dan Air Kencing Tidak Najis!?’ yang diunggah pada 3 September 2020 lalu.
“Kita orang Indonesia, mazhab kita tuh ya mau bilang apa memang Syafi’i dari awal. Dan kita tidak cocok dengan mazhab yang lain karena memang dari awal diajarkan mazhab Syafi’i,” kata Ustaz Ahmad Sarwat, seperti dikutip dari channel YouTube An Nabawi TV, Rabu (17/11/2021).
Hal ini pula yang menjadi dasar keyakinan umat muslim Indonesia. Umumnya, cenderung meyakini kotoran sapi, kuda, atau pun hewan lain yang dapat dimakan dagingnya adalah najis. Berbeda dengan orang-orang Arab Saudi yang menganut mazhab Hambali.
“Orang-orang Saudi itu mazhabnya Hambali. Dalam pandangan mazhab Hambali, kotoran hewan itu tidak najis. Asalkan hewan itu halal disembelih dan dimakan maka kotorannya tidak najis,” papar dia.
Selain itu, kata Ustaz Ahmad Sarwat, umat muslim tidak akan mudah berpindah mazhab atau pun mencampuradukkan banyak mazhab. Jadi, sebagai umat muslim di Indonesia, kita cenderung meyakini kotoran sapi, kuda, atau hewan halal lainnya termasuk najis, sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i.
Wallahu’alam. (Red)
Sumber : detik.com