Katakepri.com, Jakarta – Jakarta – Kasus kekerasan seksual semakin subur di Indonesia. Polda Metro Jaya mengungkap jaringan prostitusi online yang memanfaatkan hotel-hotel di Jakarta Barat dalam dua kali penggerebekan, Rabu, 19 Mei dan Jumat, 21 Mei 2021. Dari penggerebekan ini, ada 75 orang yang ditangkap. Dari kejahatan ini, 18 pekerja seks tercatat berusia di bawah umur.
Kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak ini berada di pusaran jaringan prostitusi online yang besar. Dari kedua kasus tadi, Kepala Subdirektorat V Direktorat Kriminal Umum Ajun Komisaris Besar Pujiyarto mengatakan timnya sudah mengungkap 15 kasus prostitusi online lain dengan total 141 anak di bawah umur yang terjebak dalam jaringan ini.
Menurut Pujiyarto, anak-anak ini termakan bujuk rayu muncikari. Kesamaan dari kasus-kasus ini adalah semua berawal dari media sosial. “Para muncikari ini berkenalan dengan para korban di Facebook, Instagram dan Twitter,” kata dia melalui aku WhatsApp, Kamis, 28 Mei 2021.
Perkenalan tersebut berlanjut dengan pertemuan langsung atau biasa disebut “kopi darat” . Saat bertemu, kata Pujiyarto, para muncikari akan menawarkan pekerjaan yang menghasilkan uang. Namun Mereka tak menjelaskan pekerjaan yang dimaksud. Terkadang, para muncikari ini juga akan memacari calon korbannya yang di kemudian hari akan dirayu untuk melakukan “open booking out”, istilah untuk menyebut pemesanan jasa prostitusi yang dilakukan secara daring.
Kasus yang terjadi di Jakarta Barat tersebut hanya merupakan satu dari banyak jenis kekerasan seksual online yang kian marak di Tanah Air. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfa Anshori mengaku risau dengan fenomena gagapnya remaja dan anak-anak ketika berinteraksi di jagat maya. Saat diwawancarai Maret lalu, Ulfa mengatakan kegagapan berhadapan dengan media sosial dan produk kemajuan teknologi lainnya membuat korban terus berjatuhan dan meningkat jumlahnya. “Kehadiran teknologi juga menghadirkan dimensi kekerasan seksual yang lain, tetapi bukan teknologinya yang salah, hanya kita yang masih gagap,” kata dia.
Komnas Perempuan mencatat ada delapan jenis kekerasan seksual yang difasilitasi oleh kehadiran teknologi, mulai dari pelecehan di ruang-ruang maya, peretasan, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga ancaman penyebaran foto dan video intim. Ada pula sextortion, atau pemerasan lewat video intim. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, ada 940 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan sepanjang tahun lalu, meningkat dari tahun sebelumnya, 2019, sebanyak 241 kasus.
Laporan dari lembaga layanan yang dihimpun Komnas Perempuan pun tak kalah meroket. Pada 2020 tercatat ada 510 kasus yang dilaporkan, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang berada di angka 126 kasus.
Fenomena ini juga terjadi di banyak negara. Tempo berkolaborasi dengan media di Hong Kong, Filipina, dan Korea Selatan.untuk mengungkap cerita di balik kekerasan seksual online yang tumbuh pesat di negara masing-masing.
Di Filipina, misalnya, penegak hukum bersama beberapa organisasi sipil setempat melaporkan adanya peningkatan kasus eksploitasi seksual online yang mengincar anak-anak. Sejak 2011 hingga Mei 2021, ada 793 anak-anak di Filipina yang menjadi korban perdagangan seks online yang berhasil diselamatkan.
Di Hong Kong, asosiasi advokat yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan melaporkan sepanjang 2020 telah menangani 133 kasus kekerasan seksual yang berbasis konten intim. Jumlah ini diklaim meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Fenomena ini membuat pemerintah Hong Kong akhirnya meloloskan rancangan undang-undang tentang “voyeurism”, perekaman bagian intim tanpa konsesual dan pelanggaran publikasi konten-konten tersebut.
Pengalaman masyarakat Hong Kong serupa dengan masyarakat di Korea Selatan. Dua tahun lalu, warga Korsel dikejutkan dengan skandal “nth room” yang menjerat banyak perempuan muda. Beberapa di antara korbannya diduga berasal dari kalangan selebritis. Pelakunya yang dikenal dengan julukan “the doctor” mengandalkan konten intim korban untuk menjalankan kejahatannya. Skandal ini kemudian melahirkan undang-undang untuk mencegah kejahatan atau kekerasan seksual, yang di kemudian hari dikenal dengan istilah ‘Nth Room Prevention Act’.
Menurut Maria Ulfa, salah satu kelemahan dalam penanganan kasus-kasus ini di Indonesia adalah belum adanya payung hukum yang secara spesifik melindungi korban. Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang digadang-gadang mampu memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap korban, belum juga disahkan. (Red)
Sumber : tempo.co