Oleh: Faizal Ramadhan Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Stisipol Raja Haji Tanjungpinang.
Katakepri.com, Opini – Pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia akan diselengarakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Ini merupakan kali keempat pilkada dilangsungkan secara serentak di Indonesia. Tetapi, ada yang berbeda dengan pilkada serentak tahun ini, yakni dilangsungkan ditengah wabah virus Covid-19.
Dalam hal ini, tentunya pemerintah juga memikirkan tentang pentingnya protokol kesehatan bersamaan pilkada yang akan datang. Dari sejumlah opsi terkait kampanye untuk mengumpulkan suara rakyat, kampanye virtual dinilai sebagai alternatif kampanye yang potensial.
Tiap tahun pengguna media sosial di Indonesia naik secara signifikan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Hootsuite dan We Are Social (2020), ternyata rata-rata orang Indonesia bermain medsos hingga 3 jam lebih dalam sehari. Angka ini melampaui rata-rata global dalam bermedsos yang tidak sampai 3 jam. Hal ini menandakan bahwa medsos memiliki potensi besar untuk dijadikan media berkampanye sebagai ajang penunjukkan visi, misi, dan program dari paslon.
Kampanye virtual pada dasarnya dijadikan sebagai ajang promosi melalui media online untuk mempengaruhi massa agar tertarik dengan produk-produk yang ditawarkan. Produk disini jelas berkaitan dengan visi, misi, dan program dari paslon yang akan maju memperebutkan kursi kekuasaan.
Menurut Ruslan (2007), kampanye diartikan sebagai pemanfaatan berbagai metode komunikasi yang berbeda secara terkoordinasi dalam periode waktu tertentu yang ditujukan untuk mengarahkan khalayak pada masalah tertentu berikut pemecahannya.
Namun dalam prakteknya, kampanye virtual ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Potensi muncul berbagai masalah selama proses kampanye berlangsung akan tetap ada.
Masalah pertama datang dari segi teknis terkait gangguan sinyal operator penyedia jasa internet. Pada umumnya, gangguan terjadi karena adanya hujan lebat disertai petir, lalu adanya musibah banjir, dan bisa disebabkan adanya kebakaran pada jaringan kabel telekomunikasi. Menanggapi gangguan teknis tersebut, hendaknya timses dari paslon dapat mengantisipasi dengan cara selalu memperbarui info terkini terkait daerah yang menjadi target kampanye virtual.
Masih terkait target daerah kampanye, dalam hal ini tidak semua warga di daerah tersebut lancar dalam pengaplikasian internet. Sebuah desa bisa saja mayoritas warganya jarang mengakses medsos karena keterbatasan sinyal yang menjangkau daerah tersebut. Melihat hal ini, timses harus proaktif turun ke desa untuk mempersiapkan peralatan pendukung kampanye virtual untuk bertatap muka antar paslon dengan warga. Selesai masalah teknis, berlanjut ke masalah lain yakni rawan beredarnya berita hoaks di media sosial menyangkut paslon.
Jika hoaks tersebut tidak segera diatasi dengan klarifikasi langsung dari paslon, maka akan berpengaruh pada turunnya tingkat kepercayaan kepada paslon. Seperti diketahui bersama, dari anak muda sampai usia lanjut tidak lepas dari kehadiran medsos dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari aktivitas sekolah hingga bekerja ada saja pengguna medsos yang berbagi dan bercerita tentang kegiatannya di hari itu. Sayangnya, masih ada oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang menyebarkan hoaks hingga memicu timbulnya konflik. Selanjutnya beralih ke masalah materi kampanye yang tidak to the point.
Ini berarti bahwa materi yang singkat tapi bermakna akan lebih membekas di hati rakyat. Metode lain kampanye virtual yakni lewat presentasi berupa tulisan terkait visi, misi, program yang diusung oleh paslon. Perlu diperhatikan bahwa rata-rata orang merasa enggan untuk membaca teks yang panjang lebar dan tidak tersusun rapi. Sebagian besar dari mereka hanya tertarik pada pokok inti dari suatu teks dan biasanya mengabaikan penjelasan yang bertele-tele. Hal ini bisa jadi acuan dan koreksi bagi timses untuk menyusun materi presentasi berupa tulisan yang rapi dan dipertegas dengan penjelasan yang ringkas.
Dari rentetan masalah yang mewarnai jalannya kampanye virtual, ternyata sebagian besar dari masalah tersebut muncul dikarenakan gangguan teknis. Untuk sejenak kita kesampingkan dahulu perihal masalah-masalah yang muncul tersebut. Marilah kita lihat segi positif terkait kampanye virtual. Ternyata biaya untuk kampanye virtual tidak sebanyak kampanye berupa kunjungan ke daerah-daerah yang jelas membutuhkan akomodasi yang besar. Hal ini tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi paslon dan partai pengusung.
Lantas apakah kampanye virtual tergolong kampanye yang efektif ? Kampanye dikatakan berhasil dilihat dari seberapa besar antusiasme rakyat kepada paslon yang terkait. Adanya dialog antara rakyat dengan paslon lewat kampanye virtual menjadi pertanda bagus sinyal ketertarikan dari rakyat. Terkait hal ini, integritas paslon sedang diuji oleh rakyat. Paslon yang cakap, berwawasan luas jadi nilai tambah di mata rakyat. Pada dasarnya, rakyat menginginkan pemimpin yang memahami kondisi mereka. Mereka juga berharap tingkat kesejahteraan dan kemakmuran naik di tangan pemimpin yang terpilih nantinya.
Jadi, melalui kampanye virtual yang dikemas sekreatif mungkin oleh paslon dan dukungan penuh dari timses maka target perolehan suara dari rakyat akan tercapai. Jika melihat perkembangan teknologi di Indonesia saat ini, hampir seluruh aktivitas dari pendidikan hingga pekerjaan terhubung dengan internet. Dukungan sinyal 4G yang mulai dirasakan di hampir seluruh wilayah Indonesia ditambah adanya program desa digital yang mulai dikembangkan untuk menunjang integrasi data desa dengan kota.
Maka dari itu, kedepannya potensi penggunaan media sosial sebagai ajang berkampanye secara virtual akan banyak dilirik oleh berbagai kalangan karena dinilai menguntungkan. (Red)