Katakepri.com, Jakarta – Usai menyelesaikan aksi mogok nasional 3 hari, mulai 6-8 Oktober, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tetap akan meneruskan penolakan atas Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja melalui jalur hukum. KSPI akan membuat gugatan untuk membatalkan Omnibus Law Cipta Kerja.
Setelah menyatakan itu, KSPI kembali merilis poin-poin dalam UU Cipta Kerja yang ditolak buruh. Secara keseluruhan, ada 12 poin yang dijabarkan. Tiga poin utama yang sangat jadi sorotan adalah ketentuan pesangon bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pengupahan. Dari 3 poin pertama itu, detikcom membedahnya, lalu membandingkannya dengan draf UU Cipta Kerja, maupun UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
1. Pesangon 32 Kali Gaji Dihilangkan, Kini 25 Kali Gaji
Dalam draf poin-poin yang ditolak buruh, KSPI menilai UU Cipta Kerja menurunkan hak pesangon korban PHK.https://tpc.googlesyndication.com/safeframe/1-0-37/html/container.html
“Hal ini diakui sendiri oleh Pemerintah dan DPR, jika uang pesangon dari 32 kali dikurangi menjadi 25 kali (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan). Lagipula dalam masih belum jelas, yang oleh JKP itu 6 kali atau 6 bulan, karena kami tidak menemukan hal ini dalam omnibus law. Di mana bisa saja besarnya hanya sekian ratus ribu selama 6 kali,” kata Presiden KSPI Said Iqbal seperti yang dikutip detikcom, Sabtu (10/10/2020).
Adapun aturan pesangon dalam UU 13/2003 yang diminta buruh untuk tetap dipertahankan adalah sebagai berikut:
Pasal 156:
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
b. masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
c. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
d. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
e. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
f. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
g. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
h. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
i. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Dalam UU Cipta Kerja:
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
b. masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
c. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
d. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
e. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
f. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
g. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
h. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
i. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Apa yang berbeda dari dua UU di atas?
Perlu dicatat, UU Cipta Kerja adalah UU yang fokus menyasar pada pasal per pasal. Jika tak ada perubahan dari UU sebelumnya, maka tak akan ditulis kembali. Namun, jika ditulis kembali, maka ada perubahan meski sangat kecil.
Perbedaan pasal 156 dari UU 13/2003 dengan UU Cipta Kerja terletak di ayat (1) dan (2). Di ayat (1) dari kata diwajibkan, diubah menjadi wajib. Lalu, di ayat (2), ada perbedaan di kata ‘paling sedikit’, menjadi ‘paling banyak’. Dengan demikian, bedanya besaran pesangon di atas pada UU 13/2003 adalah paling sedikit yang bisa diterima korban PHK, artinya bisa lebih besar. Namun, di UU Cipta Kerja besaran pesangon itu paling besar yang bisa diterima korban PHK, artinya bisa lebih kecil.
Perubahan lain juga dilakukan di pasal 156 ayat (4). Di UU Cipta Kerja, poin C yang ada dalam UU 13/2003 dihapus, yang berbunyi:
“penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.”
Pasal 163 dan 164 yang ada di UU 13/2003 juga dihapus. Di pasal 163 ayat (2) dinyatakan buruh dapat memperoleh pesangon dua kali lipat dari yang seharusnya jika perusahaan melakukan PHK karena perubahan status, penggabungan atau peleburan tetapi pengusaha tak bersedia menerima buruh di perusahaannya.
Lalu, di pasal 164 ayat (3) menjelaskan pengusaha dapat melakukan PHK jika perusahaan tutup bukan karena kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa dengan ketentuan buruh berhak atas pesangon dua kali lipat dari yang seharusnya diterima.
Lalu, terkait JKP yang merupakan bagian dari pesangon bagi korban PHK juga diatur dalam UU Cipta Kerja. JKP disebut akan menanggung pesangon bagi korban PHK sebanyak 6 kali upah, sementara sisanya 19 kali ditanggung pengusaha.
Dalam beleid ini pemerintah mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Salah satunya hadirnya JKP yang menjadi program tambahan dari sejumlah jaminan yang sudah ada sebelumnya seperti jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Khusus jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP, dalam pasal 46A menyatakan:
1. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.
2. Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) ketenagakerjaan dan pemerintah.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan kehilangan pekerjaan diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Pada Pasal 46B, JKP diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Lalu JKP diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan.
“Peserta JKP adalah setiap orang yang telah membayar iuran,” bunyi Pasal 46C bagian jaminan kehilangan pekerjaan.
Sementara isi Pasal 46D:
1. Manfaat JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
2. Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan PP.
Sementara yang mengatur soal pendanaan JKP tertuang pada Pasal 46, yaitu:
1. Sumber pendanaan JKP berasal dari modal awal pemerintah, rekomposisi iuran program jaminan sosial dan atau dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan JKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PP.
Seiring dengan tambahan program jaminan sosial, maka pemerintah juga menambah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Ketentuan yang diubah antara lain Pasal 6 yang berbunyi:
1. BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
2. BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 atau (2) huruf b menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
Selanjutnya ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
2. BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, program jaminan hari tua, dan program jaminan kehilangan pekerjaan.
Lalu, ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp 2 triliun yang bersumber dari APBN.
2. Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk program jaminan kehilangan pekerjaan ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun yang bersumber dari APBN.
Namun, baik pasal-pasal di atas tak ada yang menyebutkan pesangon akan mencapai 25 kali upah. Hal itulah yang jadi keresahan buruh akan bagaimana nanti kenyataannya di lapangan.
“Ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya? Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh,” tegas Iqbal.
UMK dan UMSK Dihapus, Cuma Ada UMP?
KSPI menilai, kehadiran UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Aturan itu kemudian dialihkan kepada Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun, menurut buruh pekerja di sektor-sektor besar upahnya akan disamaratakan dengan sektor kecil.
“Dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” jelas Iqbal.
Lalu, bagaimana aturannya dalam UU 13/2003?
Aturan UMKM dan UMSK tercantum dalam pasal 89 yang berbunyi:
(1)Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Namun, dalam UU Cipta Kerja pasal 89 itu dihapus. Pemerintah kemudian menyisipkan 5 pasal baru di UU Cipta Kerja yakni pasal 88A, 88B, 88C, 88D dan 88E.
Pada pasal 88C ayat (1), tertulis gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Lalu, di ayat (2), gubernur dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu.
Selain itu, upah minimum yang ditetapkan gubernur harus didasari oleh kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, juga mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
Dalam pasal 88C ayat (5), pemerintah menuliskan UMK harus lebih tinggi dari UMP. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Namun, KSPI menilai ketentuan itu hanya bentuk alibi pemerintah. Pasalnya, buruh melihat UU Cipta Kerja ini akan membuat UMK bukan menjadi kewajiban.
“Bagi KSPI, hal ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat,” tegas Iqbal.
Upah Jadi Dihitung Per Jam?
Menurut Iqbal, kehadiran perubahan pasal 88, dan penyisipan pasal 88B di UU Cipta Kerja memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam.
“Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media,” jelas Iqbal.
Berikut bunyi pasal 88 dalam UU 13/2003 soal sistem pengupahan:
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara, dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi:
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jika diperhatikan, di pasal 88 ayat (2) dan (3), kata ‘yang melindungi pekerja/buruh’ dihilangkan dalam UU Cipta Kerja. Lalu, perubahan signifikan terjadi di pasal 88 ayat (4) di mana kebijakan upah minimum, di UU Cipta Kerja diubah menjadi kebijakan pengupahan akan diatur dalam PP.
Lalu, mana pasal yang menyebutkan sistem upah per jam? Pasal itu ialah 88B di UU Cipta Kerja yang berbunyi:
(1) Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam PP. (Red)
Sumber : detik.com