Katakepri.com, Oleh: Erika Krissanta Mahasiswa PKN STAN –
Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, dunia telah mengalami transformasi dalam berbagai aspek kehidupan. Virus Corona yang diketahui memulai penyebarannya dari Kota Wuhan pada Desember 2019, telah mengubah gaya hidup masyarakat di seluruh dunia.
Tingkat infeksi virus pada manusia yang semakin bertambah merupakan permasalahan utama yang lahir akibat rantai penyebaran virus yang semakin meluas. Bahkan WHO juga telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi lingkup global yang harus dihadapi seluruh negara-negara di dunia secara bersamaan.
Tingginya kasus penyebaran virus ini menjadi sebuah prioritas nasional dan bahkan Internasional yang harus dihadapi oleh semua Negara. Hal ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia yang harus. Melalui berbagai kajian, pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau dikenal juga dengan istilah Social Distancing sebagai kebijakan yang dipakai untuk memutus rantai penularan virus yang banyak terjadi pada masyarakat yang melakukan kegiatan di area publik.
Adanya pembatasan penerbangan, pembatasan dibukanya rumah makan, maupun usaha lain tentu akan memberi dampak berupa penurunan pendapatan bagi unit usaha. Hal ini pada akhirnya membawa dampak negatif bagi sektor perekonomian. Turunnya pendapatan menjadi penyebab banyak pegawai harus diberhentikan karena perusahaan tidak mampu untuk membayar gaji para pekerja.
Harus diakui bahwa kini penurunan kegiatan ekonomi akibat penyebaran COVID-19 telah menjadi situasi familiar yang secara langsung memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di Indonesia, khususnya bagi masyarakat yang memperoleh penghasilan tidak tetap. Hal ini tentu mereshakan masyarakat yang hanya mengandalkan sisa tabungan yang mereka miliki dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk menjaga agar tidak terjadi krisis yang berkepanjangan, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan dengan skema Countercyclical. Countercyclical merupakan kebijakan keuangan ekspansif dengan memberikan kelonggaran moneter yang digunakan untuk memacu pembiayaan suatu kegiatan dan serta dapat menstabilkan perekonomian masyarakat secara perlahan dan pada akhirnya diharapkan mampu kembali meningkatkan nilai Produk Domestik Bruto (PDB).
Salah satu kebijakan Countercyclical yang mulai diterapkan pada tahun 2020 adalah melalui Restrukturisasi Kredit yang diberikan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas keuangan masyarakat lokal di tengah ancaman resesi ekonomi yang timbul akibat situasi pandemi sekarang ini. Kebijakan tersebut kini lebih dikenal masyarakat dengan Kebijakan Relaksasi Kredit.
Kebijakan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini merupakan bentuk kerjasama dari BI sebagai otoritas moneter bersama dengan Pemerintah Indonesia melalui injeksi kapital yang diambil dari anggaran belanja APBN yang telah mengalami realokasi.
Berdasar pada POJK No. 11/POJK. 03/2020, Restrukturisasi kredit atau pembiayaan dilakukan mengenai penilaian aset berupa Kredit pada Bank Umum Konvensional (BUK), Pembiayaan pada Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), atau penyediaan dana lain pada BUK,BUS, dan UUS.
Hal ini berlaku bagi debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan plafon paling banyak Rp10.000.000.000,00 yang didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga atau margin/bagi hasil/ujrah. Penetapan kulaitas aset juga dapat dilakukan atas kredit pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bagi UMKM yang memenuhi kriteria perolehan relaksasi kredit akan mendapatkan keringanan berupa:
- Penurunan suku bunga;
- Perpanjangan jangka waktu (grace period);
- Pengurangan tunggakan pokok (cut loss);
- Pengurangan tunggakan bunga;
- Penambahan fasilitas kredit; dan/ atau
- Konversi kredit/utang menjadi penyertaan modal sementara.
Pro dan Kontra
Kebijakan yang mulai berlaku sejak 13 Maret 2020 ini mendapatkan dukungan positif dari berbagai pihak, terutama dari pihak yang merasakan langsung manfaat pemberian keringanan kredit yang dinilai sangat menguntungkan UMKM untuk dapat kembali beroperasi. Pelaksanaan kebijakan ini merupakan sebuah bantalan untuk menjaga dunia bisnis dan keuangan di tengah pandemi COVID-19.
Karena relaksasi kredit merupakan kebijakan yang bersifat Countercyclical, maka kebijakan ini dapat mendorong optimalisasi kinerja perbankan, khususnya dalam fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan kebijakan ini merupakan sebuah bantalan untuk menjaga dunia bisnis dan keuangan di tengah pandemi COVID-19.
Hal tersebut dapat dicapai dari tujuan pemberian relaksasi kredit, yaitu untuk meningkatkan transaksi cashless dengan banyaknya transaksi yang terjadi atas kemudahan kredit maupun pembiayaan. Hal ini akan membuat banyak investor dapat melakukan pinjaman dana dalam membangkitkan kembali usahanya di tengah kondisi pandemi COVID-19.
Bank yang menerapkan kebijakan ini dapat menerbitkan kredit walaupun tengah berada dalam kondisi keuangan dunia yang fluktuatif. Hal ini juga memiliki arti bahwa Bank memiliki fleksibilitas untuk mengatur kredit yang kurang lancar dengan mengizinkan debitur lama untuk tetap bisa mengajukan kredit ke Bank. Dengan adanya restrukturisasi kredit ini, kreditur yang lama diharapkan dapat meningkatkan kualitas pinjaman mereka kembali.
Namun, terdapatpoin kontra yang melekat dengan dilaksanakannya kebijakan relaksasi kredit ini. Hal ini disebabkan dari kekhawatiran pemerintah akan terjadinya tekanan inflasi dalam perekonomian, sebagaimana Bank Indonesia juga menyediakan dana untuk membiayai pemerintah dalam usaha menyelamatkan usaha lokal dan UMKM dan bahkan untuk membiayai kebutuhan medis di masa pademi ini.
Kebijakan ini juga dapat menjadi celah bagi para debitur nakal. Dengan diberikannya keringanan atas perolehan kredit/pembiayaan, debitur yang tidak sungguh-sungguh ingin membangkitan kegiatan operasional usahanya akan menanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh dana dan menggunakannya pada hal-hal yang tidak tepat.
Harapan
Di tengah pro dan kontra yang yang ada, kebijakan ini tetaplah sebuah harapan bagi kita semua agar hasil dari pelaksanaan Relaksasi Kredit bagi UMKM ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman resesi ekonomi dalam menghadapi pandemi ini.
Dengan kembalinya kegiatan perekonomian yang didorong oleh pemberian relaksasi kredit ini, maka diharapkan kondisi keuangan Indonesia dapat kembali stabil melalui transaksi jual beli yang dilakukan oleh UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia
Dapat kita bayangkan, jika pemerintah masih kesulitan dalam mengekang penyebaran virus COVID-19, kemudian perusahaan dan bisnis lain masih berhenti beroperasi sehingga tidak ada aktivitas ekonomi. Situasi tersebut dikhawatirkan akan memicu krisis keuangan seperti tahun 1998, ketika peminjam gagal bayar dan banyak Bank yang mengalami kebankrutan.
Maka, dalam penerapan kebijakan ini peran serta semua pihak sangatlah dibutuhkan, bukan hanya pemerintah dan perbankan, namun seluruh pihak yang terlibat didalamnya agar dapat mencapai tujuan dari penerapan kebijakan ini.
Menjalankan Relaksasi Kredit sesuai dengan peraturan yang ada serta melakukan kegiatan perekonomian dengan tidak mengabaikan faktor kesehatan dengan menjaga kebersihan dan menjaga jarak fisik, dapat menjadi poin keberhasilan dalam mendorong pertumbuhan perekonomian yang ada. (Red)