ICW dan Transparancy International Berkan Rapor Merah KPK Era Firli Bahuri

Katakepri.com, Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) menyebut ada 22 catatan buruk mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama enam bulan terakhir. 

“KPK kini hanya menjadi institusi pemberantasan korupsi yang tak lagi dipercaya masyarakat,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam diskusi daring bertajuk Peluncuran Hasil Pemantauan Kinerja KPK Semester I, Kamis, 25 Juni 2020.

Kurnia mengatakan ada tiga fokus kritik dalam evaluasi terhadap KPK, yakni dalam segi penindakan, pencegahan dan kebijakan internal organisasi.

1. Penindakan

Menurut ICW dan TII, upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis dan sering menimbulkan polemik di masyarakat. Merosotnya sektor penindakan KPK, dapat dilihat 6 faktor.

Keenam faktor itu adalah minimnya tangkap tangan, banyaknya buronan, dan pengabaian dalam perlindungan saksi.

Selain itu, kedua lembaga juga menyoroti perkara baru di era Firli tak pernah menyentuh kasus besar, kegagalan melakukan tangkap tangan, dan sengkarut penanganan.

“Padahal instrumen penindakan menjadi salah satu bagian utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi,” kata Kurnia.

2. Pencegahan

ICW dan TII menganggap sektor pencegahan belum berjalan optimal. Hal itu, menurut mereka, dapat ditelusuri dengan melihat empat faktor.

Keempat faktor tersebut adalah minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah, ketiadaan strategi baru dalam pencegahan kerugian keuangan negara, stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis, dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif.

“Sehingga KPK dalam hal ini penting untuk merombak ulang strategi pencegahan karena terbukti gagal dalam enam bulan terakhir,” kata peneliti TII, Alvin Nicola.

3. Kebijakan Internal

Sementara mengenai kebijakan internal, ICW dan TII menemukan 11 kelemahan. Mereka menilai kebijakan internal KPK seringkali hanya didasarkan atas penilaian subjektivitas semata.

Menurut Alvin, muncul kesan adanya dominasi dari salah satu pimpinan KPK dalam pengambilan kebijakan. Hal itu, kata dia, bertentangan dengan asas kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan.

Alvin mengatakan perubahan dalam kebijakan internal itu dapat dilihat dari 11 peristiwa, yaitu pengembalian paksa penyidik KPK ke Polri, penafsiran keliru publikasi penghentian penyelidikan, tertutupnya akses publik, upaya intervensi pemanggilan saksi, kental dengan gimmick politik, dan memberikan perlakuan khusus kepada tersangka.

Selain itu, ada juga masalah yang muncul yakni, mempertontonkan tersangka saat konferensi pers, polemik seleksi jabatan internal, tafsir keliru peradilan in absentia, absen dalam merespon isu di pemerintah, transisi status pegawai yang jalan di tempat.(Red)

Sumber : tempo.co