Katakepri.com, Jakarta – KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) merilis laporan Pola Pembatasan Kebebasan Berkumpul secara nasional hari ini, Jumat, 6 Desember 2019.
Pengungkapan data tersebut menyambur Hari Hak Asasi Masyarakat (HAM) Sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2019.
Peneliti KontraS Rivanlee Anandar menuturkan bahwa selama pemantauan pada 2015-2018 ditemukan 1.056 peristiwa pembatasan kebebasan berkumpul dari seluruh provinsi di Indonesia.
Ads by Kiosked
Pembatasan kebebasan berkumpul dalam kurun waktu sekita tiga tahun itu terjadi di Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua.
“Daerah itu menjadi batu uji untuk mengukur kebebasan berkumpul,” kata Rivanlee dalam konferensi pers di kantornya hari.
Dia menjelaskan pengukuran tadi berdasarkan masifnya jumlah pembatasan berkumpul berikut karakteristik kasus yang penting dan mendapat perhatian publik.
Rivanlee pun mengungkapkan, sepanjang 2015-2018 isu yang paling gencar dibatasi oleh pemerintah adalah LGBT dan komunisme. Kedua itu itu banyak mendapatkan represifitas berupa pembubaran dan intimidasi.
“Pelakunya mayoritas aparat Kepolisian yang kadang berelasi dengan ormas tertentu.”
Dari temuan KontraS, pembatasan kebebasan berkumpul dilakukan berdasarkan 3 pola yang terus berulang.
Pola pertama, pembatasan hak berkumpul menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur.
Pola kedua, pembatasan hak berkumpul untuk kelompok sipil yang tengah menggunakan hak konstitusionalnya dalam menyeimbangkan diskursus negara.
“Ketiga, ketiadaan mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal terhadap praktik pembubaran paksa dari kebebasan berkumpul di beberapa kasus.”
ADVERTISEMENT
KontraS menyimpulkan ada beberapa penyebab pola pembatasan kebebasan berkumpul, antara lain peraturan perundang-undangan yang membuka tafsir secara luas bagi aparatur keamanan di lapangan.
Rivanlee menyebut SKB 3 Menteri, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, dan Juklak Kapolri Nomor 2 Tahun 1995 tentang Perizinan Masyarakat.
“Peraturan itu membuka celah bagi aparat untuk melakukan represi dan pembubaran paksa,” ujar Rivanlee. (Red)
Sumber : tempo.co