Katakepri.com, Jakarta – Nahdlatul Ulama atau NU telah mengusulkan agar penggunaan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam, tak lagi digunakan. Hal ini menjadi salah satu poin pembahasan di Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat.
Baca juga: Munas Alim Ulama NU Sepakati Pengertian Islam Nusantara
Alasannya, para kiai dalam sidang itu sepakat bahwa penyebutan kafir dapat menyakiti para non-muslim di Indonesia. Pembahasan mengenai penggunaan kata kafir ini mencuat di sidang NU, lantaran muncul sekelompok masyarakat yang mulai memberikan atribusi diskriminatif.
“Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis. Karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi ‘Muwathinun’ atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain,” ujar Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali.
Beragam tanggapan dari umat berbagai golongan agama muncul pasca usulan NU ini dibuat. Berikut beberapa sikap yang dirangkum Tempo
1. Katolik – Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menilai usulan itu menjadi penting, sebagai bentuk penegasan untuk menolak fenomena yang berkembang dewasa ini, yakni semangat mengkafirkan oleh sebagian umat islam.
Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom mengatakan saling kafir-mengkafirkan ini merupakan bentuk kekerasan teologis. Hal ini juga ia nilai mengusik persaudaraan dan kerjasama sesama anak bangsa.
“Kita tidak hendak menggugat penggunaan kata kafir dalam kitab suci, kalau itu memang ada. Namun dalam masyarakat majemuk, dan dalam perspektif kemanusiaan sejati, patutlah kita mengembangkan pemahaman yang lebih menghargai satu sama lain,” kata Gomar.
2. Hindu – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Umat Hindu lewat PHDI juga sejalan dengan PGI untuk mendukung usulan NU tersebut. Sekretaris Bidang Hubungan Internasional PHDI Pusat, AA Ketut Diatmika mengatakan langkah tersebut dapat mempererat rasa persatuan kesatuan bangsa.
“Apa yang dilakukan oleh saudara kami dari NU adalah hal yang positif demi terbinanya ketertiban, persatuan dan kesatuan bangsa indonesia, kami ikut mendukung,” kata Ketut saat dihubungi Tempo, Sabtu, 2 Februari 2019.
3. Buddha – Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
Respon sedikit berbeda muncul dari umat Buddha yang diwakili lewat Walubi. Mereka menarik urusan ini ke ranah yang lebih teologis.
Koordinator Publikasi Walubi, Rusli Tan mengatakan bagi umat Buddha, sebutan apapun bagi mereka, tidak pernah mereka permasalahkan sejak awal. “Umat Buddha seharusnya tidak mempermasalahkan panggilan orang atau apa kata orang. Karena tak semestinya (Umat Buddha) menuntut orang lain untuk menghormati,” kata Rusli Tan.
ADVERTISEMENT
Rusli mengatakan secara teologis, dalam agama Buddha, diajarkan tak boleh menuntut orang lain. Agar bisa dihormati orang lain, maka Umat Buddha dkwajibkan menghormati orang lain apapun kondisinya.
Apapun reaksi yang didapat, merupakan karma baik maupun buruk bagi umat tersebut. “Persoalan orang lain menghormati kami atau tidak, itu karma kami sendiri,” kata Rusli.
Simak juga: Tim Jokowi Sebut Usul NU Hapus Istilah Kafir Bisa Hindari Konflik
NU menyebut keputusan terkait penyebutan ‘kafir’ ini sebatas menjadi dasar sikap NU. Pasalnya, keputusan itu tak akan diteruskan ke Komisi Rekomendasi dan dibawa ke dalam sidang pleno di acara Munas Alim Ulama yang berakhir pada Jumat, 1 Maret 2019 lalu.
“Biasanya rekomendasi itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara. Sementara ini hanya narasi akademis,” tutur Moqsith. (Red)
Sumber : tempo.co