katakepri.com –
Purwati (46), tampak selalu tersenyum dan tertawa ketika berbicara dengan Menteri Sosial Khofifah Indarparawangsa di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA) Bambu Apus, Jakarta Timur, Rabu, 11 Oktober 2017.
Hari itu, ia memang diundang ke RSPA oleh Menteri karena ingin bertemu dan membantu Monica (15), anak Purwati yang lulus seleksi untuk berangkat ke Kanada setelah mengirimkan artikel tentang mengakhiri kekerasan anak.
Monica mendapat undangan pertemuan The WHO 8th Milestone of Global Campaign for Violence Prevention, di Ottawa, Kanada pada 19-20 Oktober 2017.
Pertemuan itu akan dihadiri oleh perwakilan anak, pemerintah, dan sejumlah lembaga swadaya masayarakat dunia lainnya.
Purwati tak tahu menahu awal mula sang anak berangkat ke Kanada. Ia bahkan hampir tidak percaya dan menganggap berita tersebut hanya main-main.
“Ku pikir awalnya main-main ya sampai ke Kanada. Jadi aku tidak ngerti kenapa dia sampai ke Kanada sekarang ini,” kata Purwati bersemangat.
Ia pun bercerita anaknya nyaris gagal berangkat ke Kanada karena dirinya sempat tak bisa ditemukan untuk dimintai tanda tangannya.
“Iya ini, saya di–SMS terus beberapa hari sebelumnya. Katanya mau ketemu minta tanda tangan, ngabarin kalau Monic juara gitu, ke luar negeri. Tapi ya saya enggak percaya makanya saya diemin (diamkan),” ujar Purwati.
Tanda tangan Purwati di visa Monica diperlukan agar Monica bisa berangkat. Pihak Dinas Sosial pun lantas mencari keberadaan Purwati.
Setelah ditemukan, pengurus keberangkatan Monica bergegas berangkat ke Kuningan City untuk menyerahkan dokumen itu. Mereka tiba tepat sebelum batas akhir penyerahan dokumen.
“Jadi ini percaya gak percaya, kok bisa. Mungkin jalan dari Allah karena sedikit saja (telat) tidak menandatangi tidak jadi berangkat,” tambahnya.
Dari Kopi Keliling
Monica diketahui tak tinggal bersama Purwati. Bocah itu tinggal di Yogyakarta bersama kakaknya, David (18), di bawah pengasuhan ‘Mbah’, dermawan yang menolong Purwati belasan tahun silam ketika ia hidup tak menentu.
“Dia sekolah di Jogja. Dia tinggal di yayasan. Dia tidak betah tinggal di Jakarta karena katanya panas dan sumpek,” ucap Purwati.
Masa kecil Purwati dihabiskan di bawah asuhan ibu angkatnya di daerah Kramat, Senen. Dengan pendidikan terbatas, Purwati sering bekerja sebagai petugas kebersihan dan hingga kini berjualan kopi keliling.
Walau penuh keterbatasan, ia tak kenal menyerah. Ia mengaku anak-anaknya sangat tahu diri dan berprestasi. “Monica anak keempat. Kakaknya pada berprestasi juga. Ada yang kuliah,” ujarnya.
Dengan hanya berjualan kopi keliling, ia pun terus menghidupi anak bungsunya, Subehi (8) atau adik Monica. Penghasilan sebagai tukang kopi keliling pun dirasa memang pas-pasan.
“Sehari paling besar dapat Rp50 ribu. Rp20 ribu buat modal dan Rp30 ribu buat makan sehari-hari. Tapi biasanya dapat hanya Rp20 ribu sampai Rp30 ribu sehari,” katanya.
Dengan adanya peristiwa ini, ia pun mengaku tetap akan menjalani kehidupan seperti biasa atau tetap berjualan kopi keliling.
“Tetap berusaha dan besoknya akan dagang kopi lagi karena saya penghasilan dari ini,” kata Purwati yang berjualan kopi sejak 2003 dan mengaku telah bangkrut beberapa kali.
Ia pun berpesan kepada para ibu-ibu, khususnya yang tak mampu, agar tetap berjuang dan semangat dalam mendidik anak agar kehidupannya lebih baik.
“Semoga ibu-ibu yang lain yang keadaanya tidak mampu seperti saya jangan sampai diputuskan sekolah karena bikin kita sedih. Tapi kalau kita bersemangat didik anak kita dengan cara apa pun termasuk berdoa sama Tuhan akan berhasil,” ucapnya.
Lebih lanjut, Purwati berharap agar Monica dapat yang terbaik dalam hal apa pun, termasuk nantinya dapat berkuliah.
“Mendapatkan yang terbaik kalau dia bisa kuliah ya dapat yang terbaik. Biar dia meraih cita-cita,” katanya. (Red)
Sumber : viva.co.id