Soal Negosiasi Kontrak, Pemerintah Melunak Freeport Tetap Keras

katakepri.com, Jakarta – Perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia masih berjalan. Negosiasi yang dijadwalkan berlangsung selama 8 bulan sejak 10 Februari sampai 10 Oktober 2017 sudah mendekati deadline, kurang dari 2 bulan lagi waktu yang tersisa.

Dari 4 isu yang dibahas, baru persoalan pembangunan smelter saja yang sudah disetujui secara prinsip oleh kedua pihak. Sedangkan 3 isu lainnya, yaitu stabilitas investasi, kelanjutan operasi Freeport pasca 2021, dan divestasi saham masih belum selesai.

Dalam persoalan kelanjutan operasi, Freeport setuju mengubah status kontraknya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tapi Freeport hanya mau menerima IUPK apabila disertai dengan perjanjian stabilitas investasi yang kekuatannya setara dengan KK.

Pemerintah tidak bisa membuat perjanjian semacam itu. Yang disiapkan pemerintah untuk menjamin stabilitas investasi adalah Peraturan Pemerintah (PP). Kekuatan PP tidak bisa dikatakan setara dengan KK.

Untuk masalah kelanjutan operasi, pemerintah sudah menawarkan opsi perpanjangan IUPK hingga 2031 untuk Freeport, lalu bisa diperpanjang 10 tahun lagi berdasarkan evaluasi yang dilakukan pemerintah. Namun perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu tetap meminta perpanjangan sekaligus selama 20 tahun sampai 2041.

Sedangkan dalam persoalan divestasi, pemerintah ingin Freeport menjual 51% sahamnya ke pihak nasional Indonesia. Sampai saat ini, Freeport hanya bersedia melepas 30% saham saja, sesuai Nota Kesepahaman dengan pemerintah pada 2014.

Pembangunan smelter pun hanya akan dilakukan Freeport kalau pemerintah mau memberikan perpanjangan 20 tahun dan perjanjian stabilitas investasi.

Mantan Staf Khusus Kementerian ESDM, Said Didu, melihat bahwa tuntutan Freeport tak berubah meski pemerintah sudah melunak dan menawarkan opsi-opsi solusi. Permintaan Freeport masih sama saja dari dulu, yakni perpanjangan 20 tahun dan perjanjian setara dengan KK.

Sikap keras Freeport yang tak mau mengubah posisinya ini disebabkan adanya ketidakpercayaan kepada pemerintah. Freeport tidak yakin pemerintah bisa konsisten dalam jangka panjang, bahkan saat pimpinan negara belum berganti pun aturan bisa berubah.

“Penyebab sikap Freeport itu adalah ketidakpercayaan terhadap konsistensi pemerintah, sehingga dia menuntut maksimum,” kata Said Didu kepada detikFinance, Selasa (15/8/2017).

Ada ketidakpastian hukum, padahal kepastian sangat dibutuhkan untuk investasi jangka panjang. Karena itulah, Freeport tetap pada posisinya semula, mengajukan tuntutan maksimal.

“Itu strategi berunding bagi pihak yang tidak percaya. Kalau dia percaya, pasti bisa menerima opsi dari pemerintah. Dia ingin pengamanan investasi jangka panjang,” tukasnya.

Menurutnya, sebenarnya negosiasi antara pemerintah dan Freeport jalan di tempat. Dari dulu pun Freeport sudah menyatakan setuju mau membangun smelter, asal ada jaminan investasi jangka panjang. Belum ada capaian meyakinkan, padahal perundingan harus selesai Oktober 2017. “Saya melihat ini tidak ada kemajuan,” ujar dia.

Keempat isu yang dibahas saling berkaitan, harus diselesaikan semuanya agar tercapai kesepakatan. Pihaknya tak yakin pemerintah dan Freeport bisa segera mencapai titik temu. “Seakan-akan kita bisa mendikte selesai di Oktober,” ucapnya.

Masalah Freeport memang buah simalakama, sungguh rumit. Apapun yang dilakukan serba salah. Kalau pemerintah bersikap lunak akan dianggap membela kepentingan korporasi asing. Tapi jika bersikap keras, bisa berdampak negatif pada situasi sosial dan perekonomian di Papua, negara juga bisa diseret Freeport ke arbitrase internasional. (Red)

Sumber : detik.com