Bung Karno dan Romantika Tukang Sate

katakepri.com, Sosok – 

NAMPAKNYA satu dari sekian kuliner nusantara yang digemari Presiden pertama RI Ir Soekarno adalah sate. Panganan protein yang ditusuk bambu-bambu kecil dan khas dibakar dengan arang hingga aromanya bikin air liur menetes di ujung bibir.

Sate ayam disebutkan jadi opsi favorit “Bung Besar”.  Ya, sate ayam inilah yang kemudian jadi acuan Bung Karno memberi perintah pertama semenjak menjabat Presiden pertama RI.

Disarikan dari Cindy Adams dalam biografi ‘Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat’, Bung Karno dipilih secara aklamasi sebagai presiden pertama dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Gedung Raad van Indië di Pejambon, Jakarta Pusat (kini Gedung Kementerian Luar Negeri RI). Tiada debat, tiada saling sahut atau teriak dan semua anggota sepakat mengangkat Soekarno secara aklamasi sebagai presiden pertama, pada 18 Agustus 1945. Usulan pengangkatan itu tak lepas dari usulan Otto Iskandardinata, di mana juga diusulkan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden (wapres).

Pasca-penetapan itu, Soekarno pulang dengan jalan kaki. Ya karena saat itu sehari sesudah RI diproklamirkan, Soekarno belum punya mobil dinas nan mewah. Di tengah perjalanan, Bung Karno bertemu tukang sate yang tengah berdagang tanpa atasan pakaian alias telanjang dada di pinggir jalan. Sontak Bung Karno memanggilnya dan minta dibakarkan 50 tusuk sate ayam! “Sate ayam 50 tusuk!,” cetus Soekarno mengeluarkan perintah pertamanya sebagai presiden kepada- tukang sate.

Hingga sekarang, para penulis, pemerhati sejarah hingga berbagai literatur masih meninggalkan tanda tanya siapa gerangan nama tukang satenya- entah itu akan penting atau tidak. Terlepas dari itu juga entah Bung Karno pesan sate itu saat hari masih terang atau sudah lepas waktu Maghrib.

Ya kalau mau diingat-ingat lagi, Agustus 1945 masih termasuk Bulan Ramadan. Bulannya umat Islam untuk diwajibkan berpuasa. Nah, kalau hari masih terang berarti Bung Karno sedang tidak berpuasa. Toh kalaupun tidak puasa, kemungkinan besar memang masih dalam kondisi tidak sehat karena sehari sebelumnya juga Bung Karno sedang sakit- kala membacakan teks proklamasi.

Setidaknya itu satu dari sekian “romantika” Bung Karno dengan tukang sate di “masa jayanya”. Tapi ada pula kisah tentang Bung Karno dengan tukang sate di masa suram. Masa prahara. Masa di mana detik-detik Bung Karno digulingkan pascaperistiwa Gerakan 30 September-1 Oktober 1965 (G30S).

Masa di mana Bung Karno mulai digencarkan sebagai salah satu orang yang terlibat. Masa di mana Bung Karno dinista dan dipermalukan pihak tentara di bawah kendali Soeharto. Masa di mana masyarakat dicekoki berbagai kabar dan berita yang buruk-buruk tentangnya.

“Dulu itu akhir tahun 1965 sampai 1966, 1967, surat kabar-surat kabar itu tidak pernah memberitakan yang bagus-bagus tentang Bung Karno. Itu kalau kamu lihat beberapa koleksi di Perpusnas, luar biasa jelek pemberitaan semua tentang Bung Karno,” ujar Roso Daras, penulis kisah-kisah humanis Bung Karno kepada Okezone beberapa waktu lalu.

Sampai-sampai kegemaran Bung Karno blusukan dan beli sate di sembarang tempat pun jadi perkara bagi orang lain. Seperti yang dikisahkan eks anggota Detasemen Kawal Presiden (DKP, kini Paspampres) Peltu Suwarto di buku ‘Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ‘66′.

Satuan DKP ini jadi satu-satunya pengawal Soekarno pasca-Resimen Tjakrabirawa dilikuidasi sejak Maret 1966. DKP masih jadi satuan unit pengawal terdekat yang menjaga Bung Karno, setidaknya sampai Agustus 1967 di mana pengamanan Bung Karno dan keluarga diserahkan ke Satgas Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad).

Kembali ke soal blusukan Bung Karno, suatu waktu pascaperistiwa G30S, Bung Karno masih punya niat kuat menyapa masyarakat di wilayah Cimacan hingga Ciawi di Bogor. Sayangnya, masyarakat di sana tak lagi mencintai Bung Karno seperti yang sudah-sudah. Masyarakat di sana sudah terdoktrin bahwa Bung Karno sudah seperti “Lelepah” saja. Orang mati yang mestinya tidak lagi bergerak alias mayat hidup. Makanya masyarakat ketakutan dan menutup pintu rumah saat Bung Karno blusukan ditemani Sunario, seorang perwira menengah di Resimen II Polisi Militer Gadog, Ciawi, Bogor.

Dari Sunario ini pula Peltu Suwarto (kini mayor purnawirawan) mendapatkan cerita itu, kala Suwarto menjenguk Sunario yang tengah sakit di. Juga seperti saat Bung Karno secara tidak sengaja membuat seorang tukang sate ditangkap tentara. Ya, romantika Bung Karno dengan tukang sate dengan ujung cerita yang buruk itu, tak terlepas dari imbas pengintaian Satgas Pomad. Ke mana-mana, Bung Karno mesti dipantau, hingga dicari tahu siapa orang yang dia temui saat blusukan.

Saat blusukan ke Ciawi, Bogor itu pula Bung Karno sempat mampir ke sebuah warung sate untuk menjawab “keluhan” perutnya yang sudah lapar. Tapi sayangnya, keesokan paginya selepas melayani Bung Karno, tukang satenya diciduk tentara dari Kodim setempat! Entah siapa nama tukang sate nahas itu karena harus ditangkap dan diinterogasi tentara hanya karena melayani Bung Karno yang mampi ke warung satenya.

Oleh karenanya, Bung Karno pun dianjurkan Sunario untuk stop dulu menemui masyarakat lewat blusukan. “Terima kasih atas nasihatmu!,” cetus Bung Karno singkat kepada Sunario Jelang kejatuhannya, Bung Karno memang seolah senang jajan di luar. Betapa tidak, makanan “sekelas” nasi dan kecap saja sampai tidak diberikan pelayan ketika Bung Karno masih tinggal di Istana Merdeka, Jakarta.

Ketika itu di kuartal akhir 1966 jelang laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Bung Karno sampai harus ke Bogor, ke rumah salah satu istrinya, Hartini hanya untuk sarapan.

Dari kesaksian Peltu Suwarto diceritakan, pada suatu pagi terjadi perbincangan yang tidak elok antara seorang pelayan dengan Bung Karno yang minta dibikinkan roti bakar seperti biasanya. Sepertinya pelayannya sudah diganti dari yang sudah-sudah oleh pihak Pomad.

“Tidak ada roti!,” ketus pelayan.

“Kalau tidak ada roti, saya minta pisang saja,” balas Bung Karno.

“Itu pun tidak ada,” cetus pelayan lagi.

“Nasi dengan kecap saja saya mau,” tutur Bung Karno lagi yang kian lapar.

“Nasinya tidak ada!,” jawab pelayan dengan nada tidak sopan.

Walhasil, Bung Karno pun mesti menempuh perjalanan cukup jauh dari Jakarta ke Bogor, ke rumah Hartini hanya untuk makan pagi. (Red)